Sabtu, 31 Januari 2009


Pisang dari Doko
Oleh Budi Elyas

Takut, merupakan satu perasaan yang muncul dalam situasi yang tidak dikehendaki, tidak disukai, ketika melakukan suatu perbuatan yang bertentangan hati nurani. Perasaan ini muncul dari olah rasa yang disebabkan oleh pengalaman akumulatif. Konsekuensi batin dari perbuatan yang dialami bertentangan dengan hati nurani seseorang adalah tidak berani mencoba, melakukan atau mengulangi perbuatan tersebut.
Manusia kerap kali melupakan rasa takut. Ketika rasa takut mati terlupakan, akan muncul cinta yang berlebihan terhadap dunia. Ketika takut azab Allah hilang, akan terbiasa meninggalkan hak-hak Allah. Bahkan ketika rasa takut semakin miskin pada diri seeorang maka urusan dunia akan mengalahkan segalanya, kebakhilan pun menjadi hal yang sulit dihindari. Terjadilah hal-hal sebenarnya bakhil menjadi hal yang biasa. Sering kita temui korupsi berjamaah, tahu sama tahu tapi tak satupun saling mengingatkan ketika melakukan perbuatan bakhil.

Pengalaman menarik (baca: memprihatinkan) pada setiap petugas (atasan) melakukan kunjungan atau monitoring di suatu lembaga pendidikan selalau disiapkan amplop. Kondisi semacam ini juga dibenarkan oleh Bambang Suntoro, Kepala Dinas P dan K Kabupaten Blitar yang pernah mengalami hal semacam itu ketika melakukan kunjungan di salah satu sekolah. (Disampaikan dalam Rapat Segitiga Dewan Pendidikan, Dinas P dan K dan Depag).
“Kebiasaan itu sudah menjadi penyakit bangsa ini, harus dihilangkan. Dewan Pendidikan bersikeras menolak pemberian amplop seperti itu”, kata H.M. Siswoyo, Wakil Ketua Dewan Pendidikan dalam pertemuan Dewan Pendidikan dengan Herry Nugroho, Bupati Blitar.
Pak Abah, sebut saja begitu, ketika masuk dalam perekrutan anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar merasa terpanggil jiwa pengabdian dalam dirinya. Meski secara ekonomi tak begitu menonjol di lingkungannya, namun perasaan menghindarkan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya tetap terjaga. Seluruh gerak langkah kegiatan yang menjadi bidang tugasnya diniati ibadah. Bahkan komitmen Dewan Pendidikan untuk menolak pemberian amplop (istilah uang transport atau apapun) dalam setiap kunjungan/ monitoring ke suatu sekolah dijadikan roh dalam dirinya.
Pagi itu Pak Abah bangun lebih dini dari biasanya. Menyiapkan air panas untuk putranya yang masih SD kelas II. Karena musim mendiding putra Pak Abah tak mau mandi air dingin. Tadi malam Pak Abah menyiapkan bahan semacam kuisener untuk monitoring BOS di beberapa SD di Kecamatan Doko. Istri tercintanya sudah menyiapkan kopi di meja makan. Uang di dompet Pak Abah hanya cukup untuk beli bensin, karena uang transport monitoring yang diterima sudah dipakai untuk foto copy LKS putranya kelas 3 SMP dan pisang goreng pesanan istrinya.
“Pisangnya tadi malam masih, Bu?” tanya Pak Abah pada istrinya. Namun dijawab pelan-pelan, karena sudah dihabiskan Nana putranya.
“Saya berangkat agak pagi, karena nanti ada dua sekolah yang saya kunjungi”, Pak Abah pamit pada istrinya setelah menikmati secangkir kopi manis. Istrinya memaklumi saja karena SD yang dikunjungi agak jauh dari jalan aspal.
Pak Abah dengan sepeda motor yang baru lunas dua bulan lagi itu melaju menuju Doko sekitar 30 Km dari rumahnya. Kabut dingin yang masih menutup pemandangan jalan tak dirasakan begitu saja. Anak-anak sekolah juga sudah mulai bermunculan memenuhi jalan setelah 10 menit perjalanan. Kadang Pak Abah dibikin kesal oleh ulah anak sekolah tersebut. Mereka kebanyakan naik motor dengan gaya sliat-sliut membuat Pak Abah harus waspada di sepanjang jalan.
Tibalah di sebuah desa yang kebanyakan penduduknya berkebun dan petani musiman. Lokasi SD yang dikunjungi memang tidak jauh dari desa namun harus melewati jalanan sulit karena masuk areal perkebunan. Dua sepeda motor mengkilap terparkir di bawah pohon depan sekolah. Pak Abah memarkir di dekatnya.
Sisir yang tersimpan di dalam tas merapikan rambut yang sudah tercabik-cabik angin sepanjang jalan.
“Nyuwun sewu, kulo saking Dewan Pendidikan kagungan kerso monitoring BOS”, sambut Pak Abah setelah menyampaikan salam.
“Bade pinanggih kepala sekolah kalian Komite”, tambah Pak Abah.
“Moggo, Pak. Kolo wingi nggih sampun katuran saking Cabang Dinas”, sambut guru yang sudah berumur itu.
Pak Abah menuju ruang kepala sekolah yang cukup bersih dari kelas-kelas yang dipakai belajar anak-anak. Jam yang terpasang di dinding juga sudah tidak berputar, baterai habis barangkali. Tak lama kemudian beberapa guru berdatangan untuk menyambut Pak Abah yang anggota Dewan Pendidikan. Tampaknya anak-anak ditinggalkan untuk menyambut Pak Abah.
“Kepala Sekolah, sampun rawuh ?” Tanya Pak Abah.
“Enjang wau rawuh, sak niko dateng Cabang Dinas”, sahut salah satu guru.
Biasanya Pak Abah mempir kulonuwun ke Cabang Dinas, namun karena sekolah pertama yang dikunjungi dilewati lebih dulu, Pak Abah mampir begitu saja.
“Menawi mekaten nyuwun Komite sekalian”, pinta Pak Abah.
Terdengar anak-anak di kelas sudah mulai gaduh, beberapa guru kelihatan lalu lalang sepertinya Pak Abah membuat mereka was-was atas kedatangannya. Beberapa gelas minuman dan jajanan disiapkan di meja Pak Abah.
“Sugeng, Pak Abah”, sambut Pak Projo, kepala sekolah SD itu didampingi Ketua Komite.
”Kulo kinten mampir ten Cabang Dinas. Kulo tenggo ten mriko”, katanya lagi.
Memang sekolah-sekolah yang kedatangan tamu kunjungan, kepala sekolah berupaya menjamu bagai pajabat di jaman dulu. Pemberian upeti senantiasa menjadi tradisi. Termasuk menjemput dan memberi suguhan bahkan diajak makan sudah biasa.
“Kulo nyuwun ingkang ngurusi BOS sekalian disiapkan buku kasnya”, pinta Pak Abah.
Beberapa guru yang mendampingi kepala sekolah meningalkan ruangan dan tak lama lagi masuk ruangan dan membawa sebuah buku dan berkas-berkas lainnya.
Sambil menikmati pisang goreng yang masih hangat, Pak Abah membuka isi buku kas. Mengecek kecocokan dengan program kerja sekolah atau tidak. Seorang guru yang ditugasi kepala sekolah mengisi kuisener sekali-kali berbisik menanyakan beberapa pertanyaan dalam kuisener. Tapi kepala sekolah sepertinya menghendaki menulis apa adanya.
“Anu, Pak Abah sebagian dana dipergunakan untuk memperbaiki WC-nya anak-anak. Soalnya sudah lama tidak dipakai sehingga anak-anak harus lari ke sungai di belakang”, sela kepala sekolah.
“Ya untuk perbaikan ringan boleh saja, yang penting ada kesepakatan dengan komite”, jawab Pak Abah.
“Untuk yang ini kegiatannya sore hari?” Tanya Pak Abah sambil menunjuk kuitensi pembayaran honor guru ekstra.
“Nggih, niko untuk ekstra Bahasa Inggris kalian mengaji. Kebelutan wonten putrane Komite nembe lulus UM bade mbantu ngajari lare-lare”, jawab bendahara BOS itu.
Sekilas Pak Abah memberikan pengarahan kepada para guru. Kemudian minta melihat-lihat kondisi kelas didampingi kepala sekolah. Beberapa guru akhirnya masuk ke dalam kelas yang diajarnya. Meski di desa yang jauh dari kota, kondisi sekolah sudah banyak berubah dengan adanya BOS. Dinding kelas tampak bersih dan dihias dengan gambar binatang yang menyenangkan siswa, disamping karya-karya siswa. Pendeknya sekolah-sekolah sudah mulai bersolek.
“Sebelum ada BOS, anak-anak ditarik berapa?” Tanya Pak Abah.
“Dulu dua ribu lima ratus per bulan. Soalnya memang kondisi wali murid yang minim. Dengan adanya BOS, siswa tidak ditarik. Tapi sekarang guru disediakan minum sekedarnya”, jawab kepala sekolah.
“Tidak ada sisa dengan dana BOS?” Tanya Pak Abah.
“Sebenarnya sisa tapi dipakai untuk tambal sulam genteng yang bocor. Dan kemarin sudah mengajukan dana rehab gedung, mudah-mudahan disetujui”, jawab Pak Projo.
Pak Abah memasuki WC siswa yang kelihatan baru saja dibersihkan. Pak Projo juga menunjukkan beberapa atap plafon yang sudah lobang-lobang dan beberapa temboknya sudah tua.
“Sekolah ini sejak berdiri memang belum pernah mengalami rehab. Saya sudah 3 tahun di sini tak mampu berbuat apa-apa. Mau merehab, komite angkat tangan karena kondisi orang tua wali murid. Ya, mudah-mudahan ada dana rehab”, kata Pak Projo.
“Pak Projo bisa ngajak Komite rundingan dengan Perhutani, minta bantuan kayunya. Bertahap orang tua urunan. Yang nggak bisa bantu uang bisa material atau tenaga”, kata Pak Abah.
Sudah dua jam lebih Pak Abah monitoring di SD itu. Sebelum Pak Abah pamit Pak Abah menulis kesan-kesan di buku tamu yang disediakan oleh kepala sekolah. Di sampingnya ada map berisi amplop putih yang tentu saja disiapkan untuk Pak Abah.
“Pak Projo, meniko mboten usah. Pun wonten sangu saking kantor”, Pak Abah mengembalikan amplop yang ada di dalam map itu.
Dengan sedikit kecewa Pak Projo menerima kembali amplop itu dan Pak Abah pamit kepada semua guru.
Pak Abah diantar oleh seorang guru menuju ke tempat dimana sepeda motornya diparkir. Namun ada pertanyaan dalam hatinya karena di samping motor Pak Abah sudah tergantung satu tundun pisang.
“Wah, jangan-jangan orang salah ikat pisang di motor saya?” Tanya Pak Abah dalam hati.
“Pak Abah, niko wau wonton konco ingkang nembe panen pisang. Dipun asto kondor mawon”, kata guru yang mendampingi tadi.
Pak Abah agak bingung, karena harus monitoring ke sekolah lain dan mampir dulu ke Cabang Dinas. Tentu saja membuat Pak Abah malu dengan pisang yang mengantung di motornya. Dengan kecerdikan akalnya Pak Abah menitipkan pisangnya di suatu kios, nanti akan diampiri. Kemudian Pak Abah dengan tenang melakukan tugas berikutnya. Namun harus mampir dulu ke Cabang Dinas untuk melapor. Setelah beberapa menit menyampaikan maksud kunjungan Pak Abah langsung menuju ke SD yang dituju.
SD yang satu ini memang agak kotor dibanding tadi. Di samping dekat pasar, kesannya tidak diperhatikan kebersihannya. Tembok sekolah juga sudah bercampur dengan debu tanah dan bekas cap sepatu siswa.
“Selamat siang, Pak !” sapa seorang dengan seragam safari yang tampaknya mau pulang, padahal masih jam mengajar.
“Kepala sekolah?” tanya Pak Abah.
“Ada keperluan?” tanya orang itu.
Pak Abah lalu menjelaskan asal dan maksud kedatangannya. Tampaknya beliaulah yang sebagai kepala sekolah. Dengan agak tersipu Pak Abah diajak masuk ke ruangannya. Dan seperti biasa Pak Abah meminta dihadirkan komite dan bendahara BOS.
“Kulo kinten mboten tamtu meniko. Kulo nyuwun pirso ten Cabang Dinas, sanjange dereng rawuh”, kata Pak Udik, sebagai kepala sekolah.
Pak Abah tidak menjawab karena ditemukan sedikit kejanggalan dalam buku kas dan kuitansinya. Demikian juga lembar laporan bulannya tampak sama dan berupa format jadi dan difoto copy. Demikian juga kuitansi pengeluaran dan stempel pembelanjaan sama bentuk dan bahasanya. Hanya tanggal dan bulan yang berbeda.
“Nyuwun sewu, meniko kuitansi transport guru, Nggih?” tanya Pak Abah yang diiyakan bendahara BOS.
“Mosok wonten kuitansi transport stempel penerimanya toko”, elak Pak Abah.
Bendahara pun menjadi merah padam.
“Pun, mekaten kemawon. Wonten ingkang kedah didandani administrasinya. Nanti kalau ada monitoring dari instansi lain, harus ada perubahan. Kados meniko wau. Mugi-mugi panjenengan sedoyo mapu mengemban amanah dana BOS. Kalau tadinya tidak ada kucuran dana dari pemerintah semacam BOS, dan sekarang ada, seharusnya ada perubahan di dalam manajemen sekolah. Panjenengan dipercaya penuh dalam pengelolaan BOS. Konsekuensinya dana tersebut harus dipergunakan sebagaimana mestinya”, kata Pak Abah setengah menggurui, karena ditemukan banyak kejanggalan meski sudah sesuai program kerja.
Seperti biasa Pak Abah juga menulis apa adanya dalam buku tamu dan di samping sudah disiapkan map berisi amplop. Namun Pak Abah memaklumi dan mengembalikan kepada kepala sekolah.
Dengan rendah hati Pak Abah minta maaf dan pamit pulang kepada semua guru dan pegawai. Tanpa diantar oleh seorang guru seprti tadi, Pak Abah menuju sepeda yang motornya. Agak sayup-sayup terdengar ada nada marah dari kepala sekolah dalam ruangan itu.
Ketika rasa takut akan azab Allah hilang, memungkinkan terjadi penyelewengan secara berjamaah. Pak Abah yang masih dekat dengan hak Allah, sehingga berusaha mengingatkan kepada siapa saja yang melakukan penyimpangan. Satu persoalan kecil yang sering dilupakan adalah kita harus saling mengingatkan terhadap hilangnya rasa takut kepada Allah.
Dengan rasa berat karena harus membawa pulang pisang dan nangka yang diperoleh dari SD yang baru dikunjungi tadi hingga tiba di rumah dengan selamat.
Sampe di rumah Pak Abah menceritakan pada istri tercintanya tentang jamuan makan yang disediakan oleh sekolah yang dikunjungi. Sehingga meski tidak sarapan tidak terasa lapar. Padahal Pak Abah hanya memakan pisang goreng dari Doko. Namun dengan cerita seperti itu kepada istrinya, membuat lega dan hilang kekhawatiran istrinya karena belum sarapan.

Catatan Nama orang yang disebut dalam tulisan dan lokasi dalam cerita ini hanya fiktif belaka dan tidak sebenarnya.
Dimuat di Buletin Mitra Pendidikan Kabupaten Blitar

1 komentar:

Budi Spoil 85 mengatakan...

Tulisan ini telah dimuat di Mitra Pendidikan, buletin Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar.