Sabtu, 31 Januari 2009

Negative Opinion Bagi Guru

Negative Opinion Bagi Guru
 
LEBIH dari satu artinya banyak. Banyak tekanan-tekanan pemerintah, menyebaran citra guru yang semakin buruk oleh masyarakat, kesan guru sebagai sosok yang materialistis bukan sebagai sosok sosial yang senantiasa membuka wawasan baru kepada siswa yang dipakai sebagai bekal hidup di masa mendatang. 
Dunia pendidikan yang nota bene pelaku utama adalah guru pada saat ini menjadi korban negative opinion. Sejak masa penerimaan siswa baru, sudah ramai dibicarakan tentang besarny tarikan, tentang protes wali murid untuk membebaskan tarikan apapun dari wali murid. Guru yang dituding sebagai biang. Kasus pornografi di Jawa Barat tak bisa lepas keterlibatan guru. Berita koran tentang pelecahan seksual di SMAN 1 Blitar demikian juga. Sekarang ramai juga larangan guru menjual buku. Masih banyak lagi kasus yang menimpa oknum guru.
Pada akhir tahun 2005, kata teman-teman saya memperoleh kabar menghibur guru, yaitu dengan hadirnya Undang-Undang bagi Guru dan Dosen. Guru sebagai tenaga yang profesional, dan patut dihargai bidang tugasnya dengan menaikkan tunjangan profesionalnya. Sungguh menyenangkan dan sebagai angin sorga bagi orang yang hanya mendengar saja. Padahal tak banyak undang-undang yang justru sebatas memproduksi saja dan akhirnya terlantar. Baca saja pasal UUD 1945, ”fakir miskin dan akan terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan Undang-undang itu, seharusnya setelah 60 tahun nggak ada lagi fakir miskin, karena para fakir pada tahun lahirnya UUD 1945 seharusnya sudah berumur lebih dari 60 tahun atau mungkin sudah meninggal.
Sepertinya ada yang nggak puas dengan guru, ada yang rasa nggak enak dengan guru, ada yang iri dengan guru, sehingga guru menjadi sasaran pembicaraan masyarakat jika terjadi kegagalan pendidikan, terutama kegagalan atas pendidikan anaknya. Makanya sering orang memojokkan guru. Sepertinya memang begitu, karena guru kerja nggak berkeringat, banyak liburnya tapi gajinya naik terus, tunjangannya banyak. Makanya baju guru memiliki kantong yang banyak, sehingga banyak tempat uang, karena gajinya banyak. Ha..ha..ha...
Era globalisasi memang menjadi tantangan setiap masyarakat termasuk guru. Guru harus siap menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Kehidupan semakin berat, guru harus memiliki ketajaman berfikir logis dan harus memiliki daya saing tinggi. Untuk mempersiapkan masyarakat memiliki daya saing tinggi, masyarakat harus terbangun dari manusia berwawasan global, menguasai IPTEK, berkompetensi, kreatif, produktif, mampu berkinerja dengan tim kerja yang kreatif, mampu menghargai kemampuan orang lain bukan asal-usulnya, memiliki kehidupan religius dalam suasana demokratis dan keterbukaan bukan menonjolkan doktrin-doktrin.
Dalam abad 21 dengan berpedoman pada pendidikan di era globalisasi akan mengalami pergeseran paradigma. Dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, dari citra hubungan antar guru siswa bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, dari pengajaran yang menekankan pengetahuan akademik kepada penekanan keseimbangan dengan pendidikan nilai, dari kampanye melawan buta aksara dan buta angka ke kampanye buka teknologi dan budaya, dari penampilan guru terisolasi ke penampilan guru dalam tim kerja, dari konsentrasi eksklusif pada kompetensi ke orientasi kerja sama.
Perubahan paradigma pendidikan tak lepas dari peran guru karena berbagai keterbukaan informasi terkini yang selalu mengalir kepada siswa. Guru harus menyadari bahwa di luar begitu ramainya arus informasi global yang bukan berarti peran guru harus ditiadakan, meskipun guru bukan satu-satunya sumber informasi tetapi merupakan salah satu sumber informasi. Meskipun demikian peran yang diutamakan adalah sentuhan-sentuhan psikologis dan edukatif terhadap anak didik. Dan inilah yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang pertama, yaitu meningkatakn keimanan dan ketaqwaan. 
Dampak rendahnya keimanan seorang guru bisa dilihat adanya kasus pornoaksi pada SMA di Jawa Barat akibat tak tersentuhnya keimanan guru terhadap siswa. Tak terbendungnya mental guru, apalagi siswa. Sehingga hal-hal semacam itu mudah sekali masuk dalam dunia mereka. Hal ini bisa saja pengaruh teknologi audio (teve) yang begitu menjamur sampai di pelosok desa. Pengaruh Filem India yang diputar hampir semua teve pada tahun 1995-an tampak akibatnya sekarang. Banyak siswa yang tampil di Pentas Seni dengan mempertontonkan lobang pusarnya, banyak pelajar berpakaian bebas dengan mempertontonkan perut belakang dengan hiasan kolor celana dalam yang dipakai. Padahal ketika saya di SMA, terjadi seorang siswi ketahuan warna celana dalam saja sudah malu bukan main.
Tekanan baru terhadap guru adalah dilarangnya penjualan buku oleh guru. Ini akibat sekolah-sekolah yang melakukan penjualan buku-buku mahal yang katanya bermutu kepada siswa, sehingga tiap semester orang tua kelabakan menyediakan dana untuk buku tersebut. Di sekolah tertentu banyak menjual buku lebih dari satu yang membuat orang tua kelabakan kedua kali. Ini juga salah satu sebab dilarangnya guru menjual buku. Seakan guru mencari keuntungan ganda dengan memanfaatkan siswa melalui penjualan buku.
Akibat kurang cermatnya guru memilih buku juga bisa berbahaya bagi siswa. Misalnya telah terbit buku yang justru merongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Misalnya pada Uji Coba Kurikulum 2004 dalam Mata Pelajaran Sejarah. 
Karena sejarah adalah politik masa lalu, dulu sejarah sekarang politik. Dalam buku teks Mata Pelajaran Sejarah Kurikulum 2004 tidak memuat Sejarah G 30 S PKI. Hal ini tentu tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada. Buku teks tersebut bisa menyesatkan pola pikir siswa. Hal ini sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Uji Coba Kurikulum 2004 untuk Mata Pelajaran Sejarah, yang isinya menarik buku tersebut dari peredaran. Di samping itu ada buku Atlas yang memuat adanya bendera negara baru di Irian Jaya. Padahal Irian Jaya masuk dalam satu kesatuan negara Republik Indonesia. 
Oleh karena itu kecermatan guru tertantang dalam memilih/ menentukan buku yang dipakai untuk siswa. Kelemahan guru dalam menerima pengetahuan, teknologi dan informasi global akan sangat berpengaruh bagi anak didik. Bisa jadi siswa memperoleh bahan ajar melalui internet, sedangkan guru belum menerimanya. 
”Guru lebih berbahaya dari dari seorang dokter. Dokter salah menyuntikkan obat kepada pasien akan mati. Guru salah menyampaikan konsep ilmu kepada siswa akan menderita seumur hidupnya”, Dr. M. Fernandez, 1992. 
Di sekolah kita tidak ada keharusan membeli buku (LKS), tapi penawaran itu dilakukan dengan terbuka, yang tidak membeli tidak apa-apa. Kemudahan yang diberikan guru adalah boleh nyicil beberapa kali, tidak harus lunas. Berbeda jika membeli di toko, bisa lebih mahal dan harus kenceng. Kenikmatan yang diterima siswa adalah ganda, ada sebagian yang tidak membayar buku hingga keluar (lulus) sekolah, dan tak banyak guru yang nguber-nguber dan tidak ada ancaman apa-apa bagi siswa tersebut. Ada yang malah dibebaskan tidak membayar karena menduduki juara atau yang mengumpulkan uang (bendahara) buku. 
Mahalnya buku juga banyak upaya proaktif guru dalam menyusun buku sendiri dengan LKS dengan harga yang sangat murah dan jauh lebih murah dari foto copy. Boleh ditanyakan kepada guru, berapa keuntungan hasil penjualan itu. Yang jelas tak ada yang merasakan kenikmatan dari hasil penjualan tersebut. Tapi lebih diutamakan untuk kepentingan sosial, karena siswa kita terdiri dari berbagai ragam kekuatan ekonomi. Harapan guru, semua siswa bisa menikmati pembelajaran di kelas sebagaimana mestinya.
Tak bisa dipungkiri, bahwa dengan dilarangnya penjualan buku melalui guru akan berakibat capek. Siswa harus foto copy LKS sendiri, siswa mungkin juga mencatat sendiri, guru juga capek ngomong di depan kelas, guru capek nulis di papan tulis. Meskipun pemerintah mengharapkan siswa mencari literatur sendiri di toko buku, ini dalam rangka meningkatkan substansi pembelajaran Kurikulum 2004 (KBK), yaitu kebebasan memilih bahan ajar. Wong siswa dengan buku murah dan standar saja guru sudah kuwalahan menuju KBK.
Yang jelas upaya pemerintah bagi guru dalam melakukan larangan penjualan buku salah satunya adalah pemerintah akan menerbitkan buku standar nasional agar tercipta keseragaman persepsi seperti Sejarah di atas. Disamping itu pemerintah juga akan mengupayakan buku paket yang akan diberikan di perpustakaan untuk dipinjamkan kepada siswa, seperti yang terjadi pada kurikulum 1974. Untuk merealisasi itu memerlukan dana yang luar biasa besar, makanya harus bersabar. Menurut informasi buku-buku yang sudah terbit adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.
Dilarangnya guru menjual buku juga lebih diutamakan tugas utama guru yang dihargai sebagai tenaga profesional, sehingga akan dihargai dengan kenaikan tunjangan fungsional. Profesi guru juga perlu adanya sertifikasi, artinya profesi guru sekarang apakah layak dihargai sebagai tenaga yang profesional atau tidak. Upaya ini dilakukan melalui Tes Uji Kompetensi yang mungkin akan dilakanakan pada tahun 2006. Harapan masyarakat dan pemerintah tentu saja dengan profesionalnya guru akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. 
Masih terngiangkah di telinga, lagu Umar Bakri ..... Yang dengan sepeda kumbang sejak jaman Jepang. Dengan gaji seminggu cukup untuk satu hari, karena harus datang pagi-pagi demi anak negeri. Masih terdengarkah lagi lagu, ... 
Kita bisa baca karena siapa ..... Kita bisa tulis karena siapa .... Dan tanpa bisa baca dan tulis, kita tak bisa apa-apa. (Budi Elyas, Guru SMAN 1 Kesamben) 
 

Tidak ada komentar: