Sabtu, 31 Januari 2009

Dilarang Bawa HP ke Sekolah



Dilarang Bawa HP ke Sekolah

Dag Say Hello.... 
ADA yang baru setelah kita masuk semester 2, tepatnya mulai 21 Januari 2008, dengan surat nomor 800/030/409.107.6/2008, Perihal Hasil angket orang tua mengenai kebijakan sekolah terkait Handphone/HP. Bentuk lembar tidak jelas, apakah edaran atau keputusan. Yang jelas ditujukan kepada orang tua/ wali murid SMA Negeri 1 Kesamben. Dalam lembar tersebut terdapat pernyataan dari 699 orang tua/wali murid, sejumlah 431 menghendaki pilihan pertama, yaitu siswa dilarang membawa HP ke sekolah.  
Ada yang kaget, terutama saya. Karena saya tidak pernah mendengar sebelumnya. Pada tanggal 21 Januari itu saya mengajar ada pembagian lembar di kelas-kelas, kemudian waktu istirahat disosialisasikan di ruang guru. Ketika saya bertanya, tiba-tiba saja ada yang menyodorkan lembar kertas yang judulnya Koordinasi Wali Kelas tanggal 4 Januari 2008, pada poin 3 masalah HP (khusus Wali Kelas X, XI, XII). Pantas saja saya tidak tahu, karena saya bukan wali kelas sehingga tidak tahu lembaran tersebut, terutama terkait angket kepada wali murid tersebut. Atau tidak penting bagi guru yang bukan wali kelas mengenai persoalan HP.
Permasalahan HP di sekolah kita memang cukup rumit dan rawan. Seperti yang tertulis di lembar Koordinasi Wali Kelas diantaranya (a) Urgensi keperluan HP bagi siswa belum terlalu mendesak (b) Kebutuhan komunikasi antara orang tua dan siswa pada saat siswa berada di sekolah dapat difasilitasi dengan telepon sekolah (c) Penggunaan HP yang cenderung melanggar tata tertib bahkan sudah menuju ke arah kriminal. Misalnya menerima sms saat pelajaran, waktu istirahat dimanfaatkan untuk bermain HP bukan mereviu pelajaran atau ke perpustakaan, ada siswa yang menghabiskan uang sekolah untuk membeli pulsa, ditemukan kasus (di sekolah lain) HP berisi gambar porno, bahkan video, ada siswa memanfaatkan HP untuk ngrepek, dan sebagainya. Maka boleh dikatakan pelarangan membawa HP bagi siswa di sekolah memang beralasan. Itu artinya siswa kurang memanfaatkan teknologi dan globalisasi untuk hal-hal yang positif. 
Dengan HP kita bisa memperpendek jarak silaturrahmi. Dengan HP kita bisa hemat transportasi. Dengan HP kita bisa hemat waktu. Dengan HP orang tua bisa jemput jam berapa pulang sekolah dan sebagainya, bukan malah sebaliknya. Pasti ada yang nggrundel dengan larangan membawa HP bagi siswa ke sekolah. Karena tak lagi bisa Say Hello di saat istirahat sekolah. Pasti akan terasa kurang ketika berangkat ke sekolah tidak membawa HP. Karena biasanya HP selalu ada di genggaman tangan ketika keluar rumah. Meski tetap membawa tapi tersimpan di jok sepeda motor. 
”Yang penting nggak terbawa di kelas, soalnya kalau pas ada pemberitahuan mendadak untuk latihan apa gitu, apa bisa pake telepon sekolah. Ya, praktis pake HP, rek !” kata cewek yang nggak setuju dilarangnya membawa HP ke sekolah.
Perubahan semacam itu memang berat awalnya, namun akan terbiasa kalau sudah agak lama dibiasakan. Barangkali tanpa HP ke sekolah aktifitas di sekolah menjadi berubah. Barangkali malah memanfaatkan waktu lebih efektif dengan ke perpustakaan, membaca informasi terbaru atau memelihara taman-taman yang sekarang sedang digiatkan bersama Bu Entin. Agar sekolah kita semakain cantik. Dengan kecantikan di sana sini kita akan semakin kerasan belajar di sekolah.
Program-program baru yang dicetuskan Bu Entin ini merupakan salah satu karya baru dalam menumbuhkan kreatifitas siswa, meski sudah setahun yang lalu dicetuskan. Tentu saja dibutuhkan keuletan dari pembina. Panas dan keringat yang dikucurkan siswa tidak terasa jika senantiasa ditekankan kecintaan terhadap sekolah, menata unsur keindahan sekolah. Sehingga siswa tetap menikmati apa yang dikerjakan, merasa enjoy dalam belajar. Sehingga menjadi salah satu model pembelajaran yang menyenangkan bagi siswa.
Siapa lagi yang mau berkarya dan bermanfaat bagi siswa di kelak kalau bukan kita sendiri sebagai warga sekolah. Di atas sudah tersedia lahan kosong seluas 2200 meter. Kalau mau memberdayakan dengan tanaman pertanian tidak ada salahnya. Toh sekolah belum memiliki banyak dana, untuk mengelola jadi apa. Mari kita hargai karya-karya orang lain sebagaimana menghargai karya sendiri. (BudiElyas)


Memanusiakan Ide Ide


Memanusiakan Ide-Ide

DIBANDING SMAN 1 Talun, SMA Negeri 1 Kesamben orang bisa saja mengatakan tak seberapa. Karena senioritas itu kadang memerlukan prestasi, waktu dan peluang. Namun nama yang sering mengidola memang didukung input tinggi dan sumber daya orang tua siswa. Sehingga cetusan ide begitu mudah terealisasi dan diakui eksistensinya.

SMA Negeri 1 Kesamben memang mengandalkan ide-ide cemerlang yang bersumber dari guru dan siswa. Ide cemerlang itu jarang ada di sekolah lain dan tidak sekedar meniru. Seni Musik telah melahirkan Group Band Muda dari SMA Negeri 1 Kesamben. Seni Drama diprediksi mengantarkan siswa masuk ke dunia teater. Fraksi Mutu demikian juga membuka minat di bidang jurnalistik nantinya, dan sebagainya. Dengan ketekunan, keuletan dan pengorbanan waktu dan tenaga dalam melatih siswa, agar setiap tahun muncul bakat menonjol siswa di sekolah kita.
Kegiatan Pensi yang diikuti oleh pelajar se Indonesia yang audisinya berakhir di Bali ini, sekolah kita mendapat penghormatan dari JTV Surabaya untuk dishooting dan ditampilkan Jumat, 5 Mei 2006. Shooting sekolah kita dari televisi merupakan pertama kalinya dan gratis. Barangkali ada prediksi JTV akan potensi kreasi siswa SMA Negeri 1 Kesamben.
Potensi siswa kita di bidang intertainment memang cukup besar. Meski di sekolah tidak membuka kurikulum lokal di bidang ini. Wulan pernah meraih Juara I di bidang Intertainment dalam Audisi Jurnalistik Se Jawa Timur yang diselenggarakan Jurnalistik Patria tahun lalu. Sukma dan Arief dalam shooting JTV cukup representatif sebagai reporter teve.
Dengan demikian ide-ide siswa semacam ini perlu diakomodasi dengan baik, syukur-syukur kalau ada pembinaan secara profesional. Ide-ide itu harus dimanusiakan. Entah difasilitasi dalam lomba atau bagaimana. Tidak harus dimasukkan dalam ekstra. Jangan-jangan dijadikan ekstra, sudah difasilitasi dengan baik akhirnya mandeg. Sehingga ada mesin jahit yang hilang tak tahu kapan hilangnya.
Pada tahun 2001, OSIS studi banding ke Jawa Pos, ide dan gagasan akhirnya bermunculan. Salah satunya adalah menerbitkan sebuah buletin sekolah. Dengan harapan buletin ini mampu menampung aspirasi, kreasi seni, sastra dan sebagainya, karena pada tahun itu sedang hangat-hangatnya reformasi dan demokratisi, demokratisasi sekolah.
Drs. Soedarto, sebagai Kepala Sekolah pada waktu itu menyambut baik ide-ide itu, memanusiakan ide-ide. Maka fasilitas pun disiapkan. Sebuah kamera Nikon akhirnya tersedia. Kotak Redaksi juga terealisasi. Pemilihan calon nama buletin juga berlangsung secara demokratis. Karya pun membludak. Akhirnya penerbitan buletin pertama dan masih terbit kali ini adalah yang ke 11.
Ide-ide memang mudah saja muncul dari setiap orang namun banyak ide-ide itu tidak terealisasi karena memang tidak realistis, atau ide kaget-kaget. Bagaimana ide-ide bisa terealisasi itulah diperlukan perjuangan dan pengorbanan.
Dalam penangan ide-ide itu kadang setengah hati. Sehingga terkesan tidak mendapat dukungan dari pihak tertentu. Timbul persoalan dan pencetus ide akhirnya dimentahkan. Misalnya dalam perjalanan buletin Fraksi Mutu selama ini mengalami kelemahan partisipasi. Guru bahasa yang seharusnya potensial dalam membantu perekrutan karya siswa namun sangat jarang diakomodir dalam buletin.
Dalam Pensi (Pentas Seni Pelajar) yang diselenggarakan oleh Telkomsel (Blitar bekerja sama dengan Radio Patria FM) merupakan ide-ide kreasi siswa. Bagaimana OSIS bisa memperoleh kartu focer bekas di setiap counter Telkomsel, bagaimana menyusunnya menjadi sebuah menara. Bagaimana mempersiapkan Dance yang mampu berkompetisi dengan sekolah lain. Demikian juga bagaimana musik VPJ mampu bersaing dengan pemusik pelajar Blitar.
Dalam Pensi terserap biaya cukup besar dan tidak masuk dalam program OSIS. Akhirnya orang cenderung memperhatikan biaya yang dikeluarkan dibanding dengan motifasi peningkatan prestasi siswa. Meskipun kita memperoleh Juara Faforit untuk Penyusunan Focer Bekas dengan hadiah 500 ribu rupiah.
Niat peserta demikian juga sudah terkontaminasi oleh nominal hadiah yang diperoleh. Niat mulia mereka membawa nama baik sekolah tercemar dengan nominal hadiah untuk dipakai kegiatan latihan. Meski akhirnya urung setelah menerima penjelasan dari pihak kesiswaan. Mereka pun paham, bahwa upaya meningkatkan kreasi siswa tidak lepas dari dukungan sekolah. 500 ribu rupiah tidak ada artinya dibanding dengan harga sebuah prestasi siswa dan membawa nama baik sekolah. Pendeknya prestasi tak mungkin terbeli oleh atau dengan apapun.
Kita patut menghormati para peserta Pensi sebagai orang yang mengangkat nama baik SMA Negeri 1 Kesamben. Dalam Blitar saja, sekolah kita sulit bersaing melalui prestasi akademik. Prestasi non akademik semacam itu tetap menjadi barometer prestasi SMA Negeri 1 Kesamben. Prestasi sekolah akan meningkatkan input sekolah dan terbuka peluang sekolah kita menjadi lebih baik dibanding lainnya.
Ide-ide cemerlang memang gampang terlintas, namun sulit sekali meraihnya. Ide-ide seseorang yang kemudian bisa terealisasi, mari kita junjung tinggi sebagaimana menghargai karya. (Budi Elyas)

Humor Bagi Kehidupan Kita

“Unfortunately, some people believe their schedules are more important than their lives. – Patutlah disayangkan jika ada orang yang mengira bahwa daftar tugas yang harus mereka selesaikan itu lebih penting dibandingkan kehidupan mereka sendiri.” David Leonhardt
(dikutip dari The Reader's Digest)

Di era modern, dimana persaingan sudah sangat padat, kita dituntut berusaha lebih keras dan cepat. Padahal kita juga harus menghadapi persoalan yang kian pelik di rumah dan pekerjaan, tugas yang semakin menumpuk dan belum terselesaikan, kehilangan, jadwal tertunda, tidak ada solusi dan lain sebagainya. Semua itu menjadikan kita mudah stres, sebab seakan tidak ada lagi nilai-nilai positif yang dapat membahagiakan.

Pekerjaan dan krisis atau kehilangan sering dikaitkan dengan stres. Humor merupakan salah satu cara mengatasi tekanan-tekanan semacam itu. Bahkan humor juga mampu mempertahankan dan meningkatkan segala hal yang positif di dalam diri kita lebih optimal. Kemampuan seseorang dalam menciptakan humor dalam kehidupan mereka sangat berpengaruh terhadap kondisi emosional, kesehatan, dan hubungan sosial. Ketiganya pun merupakan faktor utama penyokong terselesaikannya semua persoalan dan tercapai suatu kesuksesan.

Humor membantu meringankan beban akibat stres dan mengendalikan emosi menjadi lebih baik dari biasanya. Sultanoff menegaskan bahwasanya, “Anecdotal evidence has long supported the proposition that distressing emotions and humor cannot occupy the same psychological space. – Berbagai bukti telah menyebutkan bahwa tekanan emosi dan humor tidak dapat terjadi dalam satu suasana psikologis.”

Humor sangat efektif mengarahkan pemikiran menjadi positif. Humor akan membuat hati kita senang. Bila hati kita senang, otomatis kita akan bersikap lebih baik terhadap orang lain, lebih mudah berpikir dan menemukan alternatif-alternatif baru yang belum pernah terbayangkan. Sehingga humor menjadikan kita siap bekerja kembali dengan lebih giat dan kreatif dalam menciptakan prestasi dalam kehidupan ini.

Sementara itu, humor sering membuat kita tertawa. Pada saat tertawa, sistem imun atau kekebalan tubuh dan sistem pada tulang, pembuluh darah jantung maupun otot bekerja lebih aktif. Ada yang menyebutkan bahwa tertawa merupakan olahraga organ dalam tubuh dan sangat efektif mengembalikan kondisi kesehatan.

Para pakar kesehatan menyatakan bahwa hati yang senang mampu menangkal penyakit, khususnya efek dari stres yang berkepanjangan. Norman Cousins menegaskan, “Jika kita tertawa lepas selama 10-20 menit maka kita akan terbebas dari rasa sakit selama puluhan jam berikutnya.” Tidak mengherankan bila kita merasa kondisi fisik ini lebih baik setelah tertawa. Dengan kondisi fisik yang lebih baik artinya kita akan memiliki energi yang lebih besar dalam berusaha mencapai kesuksesan yang kita inginkan.

Humor sangat bermanfaat dalam aktifitas kita sebagai mahluk sosial. Sebab dengan kemampuan menciptakan humor maka kita akan mudah berkomunikasi secara intensif dan membangun suatu hubungan sosial. Apalagi di era tehnologi mutahir seperti sekarang ini, kita dapat memanfaatkan tehnologi untuk mengirim maupun menerima humor secara lebih luas. Misalnya kita kirimkan cerita, gambar lucu dan lain sebagainya melalui internet yang menjangkau seluruh dunia. Hampir dapat dipastikan bahwa hubungan sosial yang lebih baik dan luas akan meningkatkan potensi kesuksesan.

Humor memang senantiasa diperlukan, dalam pergaulan, bisnis, produk, dan lain sebagainya. Perhatikan bahwa perhatian kita akan lebih besar terhadap hal-hal yang mengandung unsur humor. Misalnya bila kita mengikuti seminar yang dibawakan dengan penuh humor, maka kita akan mengikuti seminar tersebut dengan sepenuh hati sampai selesai. Padahal mungkin seminar tersebut sudah berlangsung 5 jam. Bahkan ketika pulang dari seminar tersebut kita masih tersenyum, dengan membawa perasaan senang dan semangat yang lebih besar.

Sebenarnya terdapat banyak sekali cara yang menjadi sumber humor dan menyebabkan kita tertawa, misalnya memberi nama lucu kepada benda-benda yang kita punya, lebih banyak memberi daripada menerima, menonton acara-acara, suara-suara dan wajah yang lucu, membaca cerita humor dan lain sebagainya. Tetapi kita harus memperhatikan apakah humor itu sehat ataukah tidak. Humor yang sehat mampu mengurangi stres, memberikan perspektif baru dan perasaan lebih baik. Sedangkan humor yang menyakiti bisa menyinggung perasaan orang lain, meningkatkan ketegangan, dan menjadikan suasana perasaan lebih buruk.

Secara umum target humor mengarah kepada diri sendiri itu lebih menyehatkan. Sebab pada saat kita mentertawakan diri sendiri, maka orang di sekitar kita akan merasa lebih aman karena mereka merasa bukan merupakan target dari humor tersebut dan mereka menjadi terhibur. Misalnya ketika saya menceritakan pengalaman sewaktu mengunjungi Eropa Timur, tepatnya saat berada di Jerman.

Waktu itu saya ingin ke toilet. Ada dua pintu, yang satu bertuliskan dumen, dan yang satunya lagi bertuliskan herren. Saya berspekulasi bahwa dumen adalah toilet pria. Tetapi setelah saya buka, dibalik pintu itu ternyata semuanya wanita. Saya malu sekali waktu itu. Banyak orang tertawa saat saya menceritakan pengalaman lucu tersebut. Setidaknya saya telah menyebabkan orang lain senang dan merasa nyaman serta lebih dekat dengan saya. Saya yakin telah mendapatkan keuntungan dari aktifitas humor tersebut dari segi kesehatan, emosional dan hubungan sosial.

Jadi jangan selalu menganggap segalanya terlalu serius. Sangatlah penting menciptakan humor di tengah tekanan persoalan atau pekerjaan yang harus kita hadapi dan persaingan yang begitu ketat. Manfaat humor bagi kehidupan sosial, kesehatan dan emosional, sebagaimana diuraikan diatas, cukup menjelaskan bahwa humor merupakan mekanisme yang sangat potensial. Bukan sekedar humor bila saya kemudian menganjurkan Anda untuk mengasah dan mencoba menggunakan kemampuan Anda dalam menciptakan humor untuk membangun kesuksesan yang Anda dambakan. Karena kehidupan kita sebenarnya jauh lebih menyenangkan dibandingkan pekerjaan dan persoalan yang harus kita selesaikan.

Negative Opinion Bagi Guru

Negative Opinion Bagi Guru
 
LEBIH dari satu artinya banyak. Banyak tekanan-tekanan pemerintah, menyebaran citra guru yang semakin buruk oleh masyarakat, kesan guru sebagai sosok yang materialistis bukan sebagai sosok sosial yang senantiasa membuka wawasan baru kepada siswa yang dipakai sebagai bekal hidup di masa mendatang. 
Dunia pendidikan yang nota bene pelaku utama adalah guru pada saat ini menjadi korban negative opinion. Sejak masa penerimaan siswa baru, sudah ramai dibicarakan tentang besarny tarikan, tentang protes wali murid untuk membebaskan tarikan apapun dari wali murid. Guru yang dituding sebagai biang. Kasus pornografi di Jawa Barat tak bisa lepas keterlibatan guru. Berita koran tentang pelecahan seksual di SMAN 1 Blitar demikian juga. Sekarang ramai juga larangan guru menjual buku. Masih banyak lagi kasus yang menimpa oknum guru.
Pada akhir tahun 2005, kata teman-teman saya memperoleh kabar menghibur guru, yaitu dengan hadirnya Undang-Undang bagi Guru dan Dosen. Guru sebagai tenaga yang profesional, dan patut dihargai bidang tugasnya dengan menaikkan tunjangan profesionalnya. Sungguh menyenangkan dan sebagai angin sorga bagi orang yang hanya mendengar saja. Padahal tak banyak undang-undang yang justru sebatas memproduksi saja dan akhirnya terlantar. Baca saja pasal UUD 1945, ”fakir miskin dan akan terlantar dipelihara oleh negara”. Dengan Undang-undang itu, seharusnya setelah 60 tahun nggak ada lagi fakir miskin, karena para fakir pada tahun lahirnya UUD 1945 seharusnya sudah berumur lebih dari 60 tahun atau mungkin sudah meninggal.
Sepertinya ada yang nggak puas dengan guru, ada yang rasa nggak enak dengan guru, ada yang iri dengan guru, sehingga guru menjadi sasaran pembicaraan masyarakat jika terjadi kegagalan pendidikan, terutama kegagalan atas pendidikan anaknya. Makanya sering orang memojokkan guru. Sepertinya memang begitu, karena guru kerja nggak berkeringat, banyak liburnya tapi gajinya naik terus, tunjangannya banyak. Makanya baju guru memiliki kantong yang banyak, sehingga banyak tempat uang, karena gajinya banyak. Ha..ha..ha...
Era globalisasi memang menjadi tantangan setiap masyarakat termasuk guru. Guru harus siap menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Kehidupan semakin berat, guru harus memiliki ketajaman berfikir logis dan harus memiliki daya saing tinggi. Untuk mempersiapkan masyarakat memiliki daya saing tinggi, masyarakat harus terbangun dari manusia berwawasan global, menguasai IPTEK, berkompetensi, kreatif, produktif, mampu berkinerja dengan tim kerja yang kreatif, mampu menghargai kemampuan orang lain bukan asal-usulnya, memiliki kehidupan religius dalam suasana demokratis dan keterbukaan bukan menonjolkan doktrin-doktrin.
Dalam abad 21 dengan berpedoman pada pendidikan di era globalisasi akan mengalami pergeseran paradigma. Dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, dari citra hubungan antar guru siswa bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, dari pengajaran yang menekankan pengetahuan akademik kepada penekanan keseimbangan dengan pendidikan nilai, dari kampanye melawan buta aksara dan buta angka ke kampanye buka teknologi dan budaya, dari penampilan guru terisolasi ke penampilan guru dalam tim kerja, dari konsentrasi eksklusif pada kompetensi ke orientasi kerja sama.
Perubahan paradigma pendidikan tak lepas dari peran guru karena berbagai keterbukaan informasi terkini yang selalu mengalir kepada siswa. Guru harus menyadari bahwa di luar begitu ramainya arus informasi global yang bukan berarti peran guru harus ditiadakan, meskipun guru bukan satu-satunya sumber informasi tetapi merupakan salah satu sumber informasi. Meskipun demikian peran yang diutamakan adalah sentuhan-sentuhan psikologis dan edukatif terhadap anak didik. Dan inilah yang sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang pertama, yaitu meningkatakn keimanan dan ketaqwaan. 
Dampak rendahnya keimanan seorang guru bisa dilihat adanya kasus pornoaksi pada SMA di Jawa Barat akibat tak tersentuhnya keimanan guru terhadap siswa. Tak terbendungnya mental guru, apalagi siswa. Sehingga hal-hal semacam itu mudah sekali masuk dalam dunia mereka. Hal ini bisa saja pengaruh teknologi audio (teve) yang begitu menjamur sampai di pelosok desa. Pengaruh Filem India yang diputar hampir semua teve pada tahun 1995-an tampak akibatnya sekarang. Banyak siswa yang tampil di Pentas Seni dengan mempertontonkan lobang pusarnya, banyak pelajar berpakaian bebas dengan mempertontonkan perut belakang dengan hiasan kolor celana dalam yang dipakai. Padahal ketika saya di SMA, terjadi seorang siswi ketahuan warna celana dalam saja sudah malu bukan main.
Tekanan baru terhadap guru adalah dilarangnya penjualan buku oleh guru. Ini akibat sekolah-sekolah yang melakukan penjualan buku-buku mahal yang katanya bermutu kepada siswa, sehingga tiap semester orang tua kelabakan menyediakan dana untuk buku tersebut. Di sekolah tertentu banyak menjual buku lebih dari satu yang membuat orang tua kelabakan kedua kali. Ini juga salah satu sebab dilarangnya guru menjual buku. Seakan guru mencari keuntungan ganda dengan memanfaatkan siswa melalui penjualan buku.
Akibat kurang cermatnya guru memilih buku juga bisa berbahaya bagi siswa. Misalnya telah terbit buku yang justru merongrong kewibawaan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Misalnya pada Uji Coba Kurikulum 2004 dalam Mata Pelajaran Sejarah. 
Karena sejarah adalah politik masa lalu, dulu sejarah sekarang politik. Dalam buku teks Mata Pelajaran Sejarah Kurikulum 2004 tidak memuat Sejarah G 30 S PKI. Hal ini tentu tidak sesuai dengan fakta sejarah yang ada. Buku teks tersebut bisa menyesatkan pola pikir siswa. Hal ini sebagaimana Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2005 tentang Uji Coba Kurikulum 2004 untuk Mata Pelajaran Sejarah, yang isinya menarik buku tersebut dari peredaran. Di samping itu ada buku Atlas yang memuat adanya bendera negara baru di Irian Jaya. Padahal Irian Jaya masuk dalam satu kesatuan negara Republik Indonesia. 
Oleh karena itu kecermatan guru tertantang dalam memilih/ menentukan buku yang dipakai untuk siswa. Kelemahan guru dalam menerima pengetahuan, teknologi dan informasi global akan sangat berpengaruh bagi anak didik. Bisa jadi siswa memperoleh bahan ajar melalui internet, sedangkan guru belum menerimanya. 
”Guru lebih berbahaya dari dari seorang dokter. Dokter salah menyuntikkan obat kepada pasien akan mati. Guru salah menyampaikan konsep ilmu kepada siswa akan menderita seumur hidupnya”, Dr. M. Fernandez, 1992. 
Di sekolah kita tidak ada keharusan membeli buku (LKS), tapi penawaran itu dilakukan dengan terbuka, yang tidak membeli tidak apa-apa. Kemudahan yang diberikan guru adalah boleh nyicil beberapa kali, tidak harus lunas. Berbeda jika membeli di toko, bisa lebih mahal dan harus kenceng. Kenikmatan yang diterima siswa adalah ganda, ada sebagian yang tidak membayar buku hingga keluar (lulus) sekolah, dan tak banyak guru yang nguber-nguber dan tidak ada ancaman apa-apa bagi siswa tersebut. Ada yang malah dibebaskan tidak membayar karena menduduki juara atau yang mengumpulkan uang (bendahara) buku. 
Mahalnya buku juga banyak upaya proaktif guru dalam menyusun buku sendiri dengan LKS dengan harga yang sangat murah dan jauh lebih murah dari foto copy. Boleh ditanyakan kepada guru, berapa keuntungan hasil penjualan itu. Yang jelas tak ada yang merasakan kenikmatan dari hasil penjualan tersebut. Tapi lebih diutamakan untuk kepentingan sosial, karena siswa kita terdiri dari berbagai ragam kekuatan ekonomi. Harapan guru, semua siswa bisa menikmati pembelajaran di kelas sebagaimana mestinya.
Tak bisa dipungkiri, bahwa dengan dilarangnya penjualan buku melalui guru akan berakibat capek. Siswa harus foto copy LKS sendiri, siswa mungkin juga mencatat sendiri, guru juga capek ngomong di depan kelas, guru capek nulis di papan tulis. Meskipun pemerintah mengharapkan siswa mencari literatur sendiri di toko buku, ini dalam rangka meningkatkan substansi pembelajaran Kurikulum 2004 (KBK), yaitu kebebasan memilih bahan ajar. Wong siswa dengan buku murah dan standar saja guru sudah kuwalahan menuju KBK.
Yang jelas upaya pemerintah bagi guru dalam melakukan larangan penjualan buku salah satunya adalah pemerintah akan menerbitkan buku standar nasional agar tercipta keseragaman persepsi seperti Sejarah di atas. Disamping itu pemerintah juga akan mengupayakan buku paket yang akan diberikan di perpustakaan untuk dipinjamkan kepada siswa, seperti yang terjadi pada kurikulum 1974. Untuk merealisasi itu memerlukan dana yang luar biasa besar, makanya harus bersabar. Menurut informasi buku-buku yang sudah terbit adalah Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika.
Dilarangnya guru menjual buku juga lebih diutamakan tugas utama guru yang dihargai sebagai tenaga profesional, sehingga akan dihargai dengan kenaikan tunjangan fungsional. Profesi guru juga perlu adanya sertifikasi, artinya profesi guru sekarang apakah layak dihargai sebagai tenaga yang profesional atau tidak. Upaya ini dilakukan melalui Tes Uji Kompetensi yang mungkin akan dilakanakan pada tahun 2006. Harapan masyarakat dan pemerintah tentu saja dengan profesionalnya guru akan meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. 
Masih terngiangkah di telinga, lagu Umar Bakri ..... Yang dengan sepeda kumbang sejak jaman Jepang. Dengan gaji seminggu cukup untuk satu hari, karena harus datang pagi-pagi demi anak negeri. Masih terdengarkah lagi lagu, ... 
Kita bisa baca karena siapa ..... Kita bisa tulis karena siapa .... Dan tanpa bisa baca dan tulis, kita tak bisa apa-apa. (Budi Elyas, Guru SMAN 1 Kesamben) 
 

Belajar dari Ampelgading

Belajar dari Ampelgading
Budi Elyas

Pada awal tahun 2006, anggota Dewan Pendidikan diguncang masalah. Dua anggota Dewan Pendidikan disinyalir menerima amplop, bahkan menerima upeti sebesar 5 juta rupiah dari SDN Amplegading 1 Selorejo. Surat dari elemen masyarakat, LSM bahkan Forum Komunikasi Guru Pro

Reformasi (FKGR) masuk ke pihak Eksekutif maupun Legislatif Kabupaten Blitar. Di setiap sidang Dewan Pendidikan menjadi gerah gara-gara ulah mereka. Akibat itu pun Bupati dan Legislatif ogah-ogahan menerima pertemuan dengan Dewan Pendidikan. Demikian juga Dinas Pendidikan saat itu ikut terhanyut persoalan tersebut.

Datangnya surat tembusan yang berasal dari LSM dan Forum Komunikasi Guru Pro Reformasi (FKGR) Nomor 04/FKG/II/2006 tanggal 23 Februari 2006, akhirnya Dewan Pendidikan mengundang pihak-pihak yang terkait dalam Forum Silaturrahim dengan Dewan Pendidikan. Beberapa unsur yang dimaksud antara lain Forum Guru Pro Reformasi, Kepala SDN Ampelgading 1, Kepala Cabang Dinas P dan K Kecamatan Selorejo, LSM dan Komite Sekolah.
Dalam surat itu menyebutkan bahwa anggota Dewan Pendidikan Kabupaten menerima upeti sebear 5 juta bahkan dengan ancaman akan ditindaklanjuti melalui jalur hukum. Dalam forum tersebut disebutkan pula tercantum bukti pernah ada kunjungan di Amplegading 1 oleh oknum A bersama oknum B dari Dewan Pendidikan, yang tertera di buku tamu menyatakan ”mohon teman yang kami sampaikan lewat lembar tersendiri agar bisa ditindaklanjuti demi pebaikan sekolah ini”. Oknum B yang memang berlatar belakang hukum ini disebut juga dalam surat, ”Bersdasarkan fakta-fakta (temuan di lapangan) FKGR kecewa, untuk itu oknum-oknum yang disebut harus dikeluarkan dari Dewan Pendidikan atau Dewan Pendidikan dibubarkan”.
Surat tembusan yang dikirim kemana-mana itu sempat membuat Dewan Pendidikan saling su’udhon antar sesama anggota Dewan Pendidikan. Padahal Dewan Pendidikan mengharamkan terima amplop dari sekolah.
Dengan pesan pertama yang tertera di buku tamu tersebut, ternyata FKGR memaknai bahwa oknum A dan oknum B sepakat menerima uang 5 juta tersebut, sebagaimana yang tertulis di buku tamu SDN Ampelgading 1 itu akhirnya melanglang ke mana-mana.
Pernyataan pertama yang memancing emosi itu dalam forum dijelaskan oleh oknum A, ”Mari kita belajar membaca bersama. Saya bawa dua kopy tulisan yang ada di buku tamu dan satunya yang ada di laporan Dewan Pendidikan dengan bukti terlampir. Tertulis, mohon ada perhatian terhadap temuan yang kami temukan lewat lembar terpisah. Bukan TEMAN tapi TEMUAN. Dalam lampiran temuan itu juga bukan menyebut nama orang, tapi isinya kayu, reng, usuk dan sebagainya. Sak bodo-bodone wong, ngongkon lewat pesan minta uang kok di tulis di buku tamu. Sedangkan buku tamu itu porsinya untuk umum, kan ya ketahuan orang lain”, sangkal oknum A.
Forum Silaturrahim itupun akhirnya lengang, meski akhirnya ada dialog yang cukup panas. Yang jelas tidak ada penerimaan uang 5 juta oleh kedua oknum tersebut, namun sayangnya menurut bendahara sekolah itu, uang telah keluar dari SDN Ampelgading 1. Siapa yang menerima ? Wallahu a’lam.
Kesimpulan dan kesepakatan musyawarah Dewan Pendidikan berkaitan dengan kasus SDN Ampelgading 1 Kecamatan Selorejo hari Kamis tanggal 16 Maret 2006 di Aula Dinas P & K Kabupaten Blitar, sebagai berikut:
1. Surat Forum Komunitas Guru Pro Reformasi (FKGR) Kabupaten Blitar Nomor: 04/FKG/II/2006 tanggal 23 Februari 2006 tentang pengaduan yang menyebut nama oknum Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar dalam kasus SDN Ampelgading 1, akibat kesalahan membaca kata temuan dibaca teman pada kalimat ”Mohon ada perhatian terhadap temuan yang kami sampaikan lewat tertulis yang kami sampaikan terpisah” yang tertulis di buku tamu. Pihak-pihak terkait telah bersepakat bahwa penyelesaian persoalan tersebut diambil kesepakatan damai.
2. Terhadap pengaduan yang ditujukan kepada aknum Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar, pada musyawarah hari Kamis tanggal 16 Maret 2006 di aula Dinas P & K Kabupaten Blitar, pihak-pihak telah bersepakat bahwa persoalan dimaksud telah selesai.
3. Forum Komunitas Guru Pro Reformasi (FKGR) Kabupaten Blitar bertanggung jawab atas isi surat Nomor: 04/FKG/II/2006 tanggal 23 Februari 2006 tentang pengaduan yang menyebut nama oknum Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar dalam kasus SDN Ampelgading 1, yang ditujukan kepada pihak-pihak yang telah menerima surat atau tembusan dalam rangka pemulihan nama baik atas oknum yang dituduhkan dalam surat dimaksud.
4. Menyarankan kepada seluruh anggota FKGR, dalam pengambilan tindakan hendaknya dikonfirmasikan terlebih dulu kepada pihak-pihak terkait.
5. Musyawarah ini dihadiri oleh Pengurus Harian Dewan Pendidikan, Ketua Forum Komunitas Guru Pro Reformasi beserta anggota 30-an orang, Kepala Cabang Dinas P & K Kecamatan Selorejo, Kepala SDN Amplelgading 1, Ketua LSM Amanat Pelindung Rakyat Kesamben dan Komite.
6. Musyawarah yang diselenggarakan atas undangan Dewan Pendidikan diakhiri dengan berjabatan tangan dan saling memaafkan.
7. Apabila dalam penulisan kesepakatan terjadi kekeliruan di kemudian hari akan diselesaikan secara musyawarah mufakat.
Kesepakatan ini ditandatangani oleh Ketua Dewan Pendidikan, Ketua FKGR dan Kepala Cabang Dinas Pendidikan Kecamatan Selorejo dan dikirim ke pihak terkait serta pihak Eksekutif dan Legislatif.
Asmadi, Kepala Cabang Dinas Kecamatan Selorejo menjelaskan bahwa sebelum Mukaji menjadi Kepala SDN Ampelgading 1 sementara dirangkap Kasno dari Ampelgading 2. Stelah Mukaji bertugas di SDN Ampelgading 1 proyek rehab gedung dilanjutkan oleh Mukaji dan memang benar mendengar ada permintaan dana seperti itu. Namun Asmadi mengharap hati-hati terhadap maksud pemberian upeti tersebut.
Persoalan tersebut telah mengundang keprihatinan luar biasa, terutama pihak anggota Dewan Pendidikan. Padahal komitmen Dewan Pendidikan untuk menolak amplop dari sekolah yang dikunjungi dalam monitoring cukup kencang. Bahkan dalam forum-forum pertemuan Dewan Pendidikan selalu mengedepankan komitmen ini. Namun dengan penjelasan dalam forum ini menjadi jelas bahwa kesalahan baca oleh FKGR sebagai biang utama persoalan dan telah mendapat pencerahan dari berbagai pihak.
Banyak pengalaman yang dialami oleh Dewan Pendidikan dalam setiap melakukan monitoring di sekolah. Ada yang sengaja nututi anggota Dewan Pendidikan ketika hendak pamit dan nyalami dengan amplop, tapi ditolak. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah amplop yang ditolak tadi dikembalikan kepada bendahara atau tidak. Soalnya ditemukan dalam monitoring BOS ada SPJ untuk transport Dewan Pendidikan. Kesan yang sama diterima oleh semua anggota Dewan Pendidikan.
Kejadian ini akibat tradisi nyangoni kepada setiap Tim Monitoring yang berkunjung atau pejabat. Bambang Suntoro, Kepala Dinas Pendidikan saat itu, dalam pertemuan segitiga (Dewan Pendidikan, Dinas Pendidikan dan Depag) mengaku pernah mendapat perlakuan disangoni juga. Berbagai cara dilakukan untuk menyampaikan amplop. Ada yang terang-terangan tanda tangan SPJ, ada yang diselipkan ketika pamit bersalaman, ada yang diselipkan di map yang berisi surat tugas, dan sebagainya. Bahkan Drs. H. Asrukin Mashuri, Ketua Dewan Pendidikan sendiri pernah diburu hingga di kendaraan ketika berpamitan.
”Nek butuh sangu njaluko aku wae, isine amplop ora sepiro, ning sorgane iso ucul”, komentar H. Marmin Siswoyo, wakil ketua Dewan Pendidikan.
Kejadian yang sama juga terjadi ketika Dewan Pendidikan mendapat tugas survey lapangan bagi calon penerima bantuan, Rehab SD/MI misalnya. Dewan Pendidikan dikirimi amplop berisi uang jutaan rupiah oleh beberapa kepala sekolah calon penerima bantuan. Namun akhirnya dikembalikan dan dirapatkan kepada seluruh yang urunan tadi.
Marilah kita sejenak merenungkan kondisi pendidikan kita. Komitmen mengharamkan terima amplop seperti ini disuarakan keras oleh Dewan Pendidikan. Mohon dukungan serius dalam persoalan ini.
Dewan Pendidikan melalui surat aduan, telepon atau Talkshow Dewan Pendidikan di radio Mayangkara, selalu berisi laporan tentang kurang transparan dan demokratisnya kepala sekolah dalam managemen sekolah, kurang transparan dalam pengelolaan dana BOS dan sebagainya. Pendeknya dari laporan masyarakat itu masih banyak sekolah yang melakukan penyimpangan penggunaan dana-dana bantuan.
Semua sekolah membutuhkan banyak dana untuk pengembangan dan peningkatan mutu pendidikan, sedangkan untuk memperoleh dana kadang harus menguras keringat orang tua dan masyarakat. Hindarkan dari niat dan perbuatan yang tidak terpuji. Bawalah pulang uang-uang yang bersih untuk keluarga dan anak istri, agar kelak anak-anak kita menjadi anak yang soleh dan solehah. Agar negara ini terhindar dari bencana.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasiq (QS 5:49).
Dengan pesan Allah ini beranikah kita mengakui bahwa musibah yang sering terjadi di Indonesia lantaran dosa (kolektif) kita yang demikian parah ? Negeri ini dikenal terkorup di Asia dan bahkan negara ini nomor dua sebagai sorga pornografi. Beranikan kita mengakui sebagai orang fasiq yang senantiasa melakukan perbuatan maksiat dan meninggalkan perintah Allah.
Kami merindukan masa depan anak-anak kami tanpa akibat dosa yang kita perbuat. Janganlah orang yang jujur malah dikatakan berkhianat bahkan dipecat. Beranikah kita mengorbankan jabatan jika jabatan tersebut membuat kita jauh dari Allah, karena sulit menolak untuk korupsi. Agar semua keberanian itu bukan hanya mimpi, tapi menjadi kenyataan bahwa kita akan keluar dari berbagai krisis dan menjadi pemenang dunia.
Barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar dan memberinya rejeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya (QS 65: 2-4). Amin.

Budi Elyas, Anggota Dewan Pendidikan

Pisang dari Doko
Oleh Budi Elyas

Takut, merupakan satu perasaan yang muncul dalam situasi yang tidak dikehendaki, tidak disukai, ketika melakukan suatu perbuatan yang bertentangan hati nurani. Perasaan ini muncul dari olah rasa yang disebabkan oleh pengalaman akumulatif. Konsekuensi batin dari perbuatan yang dialami bertentangan dengan hati nurani seseorang adalah tidak berani mencoba, melakukan atau mengulangi perbuatan tersebut.
Manusia kerap kali melupakan rasa takut. Ketika rasa takut mati terlupakan, akan muncul cinta yang berlebihan terhadap dunia. Ketika takut azab Allah hilang, akan terbiasa meninggalkan hak-hak Allah. Bahkan ketika rasa takut semakin miskin pada diri seeorang maka urusan dunia akan mengalahkan segalanya, kebakhilan pun menjadi hal yang sulit dihindari. Terjadilah hal-hal sebenarnya bakhil menjadi hal yang biasa. Sering kita temui korupsi berjamaah, tahu sama tahu tapi tak satupun saling mengingatkan ketika melakukan perbuatan bakhil.

Pengalaman menarik (baca: memprihatinkan) pada setiap petugas (atasan) melakukan kunjungan atau monitoring di suatu lembaga pendidikan selalau disiapkan amplop. Kondisi semacam ini juga dibenarkan oleh Bambang Suntoro, Kepala Dinas P dan K Kabupaten Blitar yang pernah mengalami hal semacam itu ketika melakukan kunjungan di salah satu sekolah. (Disampaikan dalam Rapat Segitiga Dewan Pendidikan, Dinas P dan K dan Depag).
“Kebiasaan itu sudah menjadi penyakit bangsa ini, harus dihilangkan. Dewan Pendidikan bersikeras menolak pemberian amplop seperti itu”, kata H.M. Siswoyo, Wakil Ketua Dewan Pendidikan dalam pertemuan Dewan Pendidikan dengan Herry Nugroho, Bupati Blitar.
Pak Abah, sebut saja begitu, ketika masuk dalam perekrutan anggota Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar merasa terpanggil jiwa pengabdian dalam dirinya. Meski secara ekonomi tak begitu menonjol di lingkungannya, namun perasaan menghindarkan perbuatan yang bertentangan dengan hati nuraninya tetap terjaga. Seluruh gerak langkah kegiatan yang menjadi bidang tugasnya diniati ibadah. Bahkan komitmen Dewan Pendidikan untuk menolak pemberian amplop (istilah uang transport atau apapun) dalam setiap kunjungan/ monitoring ke suatu sekolah dijadikan roh dalam dirinya.
Pagi itu Pak Abah bangun lebih dini dari biasanya. Menyiapkan air panas untuk putranya yang masih SD kelas II. Karena musim mendiding putra Pak Abah tak mau mandi air dingin. Tadi malam Pak Abah menyiapkan bahan semacam kuisener untuk monitoring BOS di beberapa SD di Kecamatan Doko. Istri tercintanya sudah menyiapkan kopi di meja makan. Uang di dompet Pak Abah hanya cukup untuk beli bensin, karena uang transport monitoring yang diterima sudah dipakai untuk foto copy LKS putranya kelas 3 SMP dan pisang goreng pesanan istrinya.
“Pisangnya tadi malam masih, Bu?” tanya Pak Abah pada istrinya. Namun dijawab pelan-pelan, karena sudah dihabiskan Nana putranya.
“Saya berangkat agak pagi, karena nanti ada dua sekolah yang saya kunjungi”, Pak Abah pamit pada istrinya setelah menikmati secangkir kopi manis. Istrinya memaklumi saja karena SD yang dikunjungi agak jauh dari jalan aspal.
Pak Abah dengan sepeda motor yang baru lunas dua bulan lagi itu melaju menuju Doko sekitar 30 Km dari rumahnya. Kabut dingin yang masih menutup pemandangan jalan tak dirasakan begitu saja. Anak-anak sekolah juga sudah mulai bermunculan memenuhi jalan setelah 10 menit perjalanan. Kadang Pak Abah dibikin kesal oleh ulah anak sekolah tersebut. Mereka kebanyakan naik motor dengan gaya sliat-sliut membuat Pak Abah harus waspada di sepanjang jalan.
Tibalah di sebuah desa yang kebanyakan penduduknya berkebun dan petani musiman. Lokasi SD yang dikunjungi memang tidak jauh dari desa namun harus melewati jalanan sulit karena masuk areal perkebunan. Dua sepeda motor mengkilap terparkir di bawah pohon depan sekolah. Pak Abah memarkir di dekatnya.
Sisir yang tersimpan di dalam tas merapikan rambut yang sudah tercabik-cabik angin sepanjang jalan.
“Nyuwun sewu, kulo saking Dewan Pendidikan kagungan kerso monitoring BOS”, sambut Pak Abah setelah menyampaikan salam.
“Bade pinanggih kepala sekolah kalian Komite”, tambah Pak Abah.
“Moggo, Pak. Kolo wingi nggih sampun katuran saking Cabang Dinas”, sambut guru yang sudah berumur itu.
Pak Abah menuju ruang kepala sekolah yang cukup bersih dari kelas-kelas yang dipakai belajar anak-anak. Jam yang terpasang di dinding juga sudah tidak berputar, baterai habis barangkali. Tak lama kemudian beberapa guru berdatangan untuk menyambut Pak Abah yang anggota Dewan Pendidikan. Tampaknya anak-anak ditinggalkan untuk menyambut Pak Abah.
“Kepala Sekolah, sampun rawuh ?” Tanya Pak Abah.
“Enjang wau rawuh, sak niko dateng Cabang Dinas”, sahut salah satu guru.
Biasanya Pak Abah mempir kulonuwun ke Cabang Dinas, namun karena sekolah pertama yang dikunjungi dilewati lebih dulu, Pak Abah mampir begitu saja.
“Menawi mekaten nyuwun Komite sekalian”, pinta Pak Abah.
Terdengar anak-anak di kelas sudah mulai gaduh, beberapa guru kelihatan lalu lalang sepertinya Pak Abah membuat mereka was-was atas kedatangannya. Beberapa gelas minuman dan jajanan disiapkan di meja Pak Abah.
“Sugeng, Pak Abah”, sambut Pak Projo, kepala sekolah SD itu didampingi Ketua Komite.
”Kulo kinten mampir ten Cabang Dinas. Kulo tenggo ten mriko”, katanya lagi.
Memang sekolah-sekolah yang kedatangan tamu kunjungan, kepala sekolah berupaya menjamu bagai pajabat di jaman dulu. Pemberian upeti senantiasa menjadi tradisi. Termasuk menjemput dan memberi suguhan bahkan diajak makan sudah biasa.
“Kulo nyuwun ingkang ngurusi BOS sekalian disiapkan buku kasnya”, pinta Pak Abah.
Beberapa guru yang mendampingi kepala sekolah meningalkan ruangan dan tak lama lagi masuk ruangan dan membawa sebuah buku dan berkas-berkas lainnya.
Sambil menikmati pisang goreng yang masih hangat, Pak Abah membuka isi buku kas. Mengecek kecocokan dengan program kerja sekolah atau tidak. Seorang guru yang ditugasi kepala sekolah mengisi kuisener sekali-kali berbisik menanyakan beberapa pertanyaan dalam kuisener. Tapi kepala sekolah sepertinya menghendaki menulis apa adanya.
“Anu, Pak Abah sebagian dana dipergunakan untuk memperbaiki WC-nya anak-anak. Soalnya sudah lama tidak dipakai sehingga anak-anak harus lari ke sungai di belakang”, sela kepala sekolah.
“Ya untuk perbaikan ringan boleh saja, yang penting ada kesepakatan dengan komite”, jawab Pak Abah.
“Untuk yang ini kegiatannya sore hari?” Tanya Pak Abah sambil menunjuk kuitensi pembayaran honor guru ekstra.
“Nggih, niko untuk ekstra Bahasa Inggris kalian mengaji. Kebelutan wonten putrane Komite nembe lulus UM bade mbantu ngajari lare-lare”, jawab bendahara BOS itu.
Sekilas Pak Abah memberikan pengarahan kepada para guru. Kemudian minta melihat-lihat kondisi kelas didampingi kepala sekolah. Beberapa guru akhirnya masuk ke dalam kelas yang diajarnya. Meski di desa yang jauh dari kota, kondisi sekolah sudah banyak berubah dengan adanya BOS. Dinding kelas tampak bersih dan dihias dengan gambar binatang yang menyenangkan siswa, disamping karya-karya siswa. Pendeknya sekolah-sekolah sudah mulai bersolek.
“Sebelum ada BOS, anak-anak ditarik berapa?” Tanya Pak Abah.
“Dulu dua ribu lima ratus per bulan. Soalnya memang kondisi wali murid yang minim. Dengan adanya BOS, siswa tidak ditarik. Tapi sekarang guru disediakan minum sekedarnya”, jawab kepala sekolah.
“Tidak ada sisa dengan dana BOS?” Tanya Pak Abah.
“Sebenarnya sisa tapi dipakai untuk tambal sulam genteng yang bocor. Dan kemarin sudah mengajukan dana rehab gedung, mudah-mudahan disetujui”, jawab Pak Projo.
Pak Abah memasuki WC siswa yang kelihatan baru saja dibersihkan. Pak Projo juga menunjukkan beberapa atap plafon yang sudah lobang-lobang dan beberapa temboknya sudah tua.
“Sekolah ini sejak berdiri memang belum pernah mengalami rehab. Saya sudah 3 tahun di sini tak mampu berbuat apa-apa. Mau merehab, komite angkat tangan karena kondisi orang tua wali murid. Ya, mudah-mudahan ada dana rehab”, kata Pak Projo.
“Pak Projo bisa ngajak Komite rundingan dengan Perhutani, minta bantuan kayunya. Bertahap orang tua urunan. Yang nggak bisa bantu uang bisa material atau tenaga”, kata Pak Abah.
Sudah dua jam lebih Pak Abah monitoring di SD itu. Sebelum Pak Abah pamit Pak Abah menulis kesan-kesan di buku tamu yang disediakan oleh kepala sekolah. Di sampingnya ada map berisi amplop putih yang tentu saja disiapkan untuk Pak Abah.
“Pak Projo, meniko mboten usah. Pun wonten sangu saking kantor”, Pak Abah mengembalikan amplop yang ada di dalam map itu.
Dengan sedikit kecewa Pak Projo menerima kembali amplop itu dan Pak Abah pamit kepada semua guru.
Pak Abah diantar oleh seorang guru menuju ke tempat dimana sepeda motornya diparkir. Namun ada pertanyaan dalam hatinya karena di samping motor Pak Abah sudah tergantung satu tundun pisang.
“Wah, jangan-jangan orang salah ikat pisang di motor saya?” Tanya Pak Abah dalam hati.
“Pak Abah, niko wau wonton konco ingkang nembe panen pisang. Dipun asto kondor mawon”, kata guru yang mendampingi tadi.
Pak Abah agak bingung, karena harus monitoring ke sekolah lain dan mampir dulu ke Cabang Dinas. Tentu saja membuat Pak Abah malu dengan pisang yang mengantung di motornya. Dengan kecerdikan akalnya Pak Abah menitipkan pisangnya di suatu kios, nanti akan diampiri. Kemudian Pak Abah dengan tenang melakukan tugas berikutnya. Namun harus mampir dulu ke Cabang Dinas untuk melapor. Setelah beberapa menit menyampaikan maksud kunjungan Pak Abah langsung menuju ke SD yang dituju.
SD yang satu ini memang agak kotor dibanding tadi. Di samping dekat pasar, kesannya tidak diperhatikan kebersihannya. Tembok sekolah juga sudah bercampur dengan debu tanah dan bekas cap sepatu siswa.
“Selamat siang, Pak !” sapa seorang dengan seragam safari yang tampaknya mau pulang, padahal masih jam mengajar.
“Kepala sekolah?” tanya Pak Abah.
“Ada keperluan?” tanya orang itu.
Pak Abah lalu menjelaskan asal dan maksud kedatangannya. Tampaknya beliaulah yang sebagai kepala sekolah. Dengan agak tersipu Pak Abah diajak masuk ke ruangannya. Dan seperti biasa Pak Abah meminta dihadirkan komite dan bendahara BOS.
“Kulo kinten mboten tamtu meniko. Kulo nyuwun pirso ten Cabang Dinas, sanjange dereng rawuh”, kata Pak Udik, sebagai kepala sekolah.
Pak Abah tidak menjawab karena ditemukan sedikit kejanggalan dalam buku kas dan kuitansinya. Demikian juga lembar laporan bulannya tampak sama dan berupa format jadi dan difoto copy. Demikian juga kuitansi pengeluaran dan stempel pembelanjaan sama bentuk dan bahasanya. Hanya tanggal dan bulan yang berbeda.
“Nyuwun sewu, meniko kuitansi transport guru, Nggih?” tanya Pak Abah yang diiyakan bendahara BOS.
“Mosok wonten kuitansi transport stempel penerimanya toko”, elak Pak Abah.
Bendahara pun menjadi merah padam.
“Pun, mekaten kemawon. Wonten ingkang kedah didandani administrasinya. Nanti kalau ada monitoring dari instansi lain, harus ada perubahan. Kados meniko wau. Mugi-mugi panjenengan sedoyo mapu mengemban amanah dana BOS. Kalau tadinya tidak ada kucuran dana dari pemerintah semacam BOS, dan sekarang ada, seharusnya ada perubahan di dalam manajemen sekolah. Panjenengan dipercaya penuh dalam pengelolaan BOS. Konsekuensinya dana tersebut harus dipergunakan sebagaimana mestinya”, kata Pak Abah setengah menggurui, karena ditemukan banyak kejanggalan meski sudah sesuai program kerja.
Seperti biasa Pak Abah juga menulis apa adanya dalam buku tamu dan di samping sudah disiapkan map berisi amplop. Namun Pak Abah memaklumi dan mengembalikan kepada kepala sekolah.
Dengan rendah hati Pak Abah minta maaf dan pamit pulang kepada semua guru dan pegawai. Tanpa diantar oleh seorang guru seprti tadi, Pak Abah menuju sepeda yang motornya. Agak sayup-sayup terdengar ada nada marah dari kepala sekolah dalam ruangan itu.
Ketika rasa takut akan azab Allah hilang, memungkinkan terjadi penyelewengan secara berjamaah. Pak Abah yang masih dekat dengan hak Allah, sehingga berusaha mengingatkan kepada siapa saja yang melakukan penyimpangan. Satu persoalan kecil yang sering dilupakan adalah kita harus saling mengingatkan terhadap hilangnya rasa takut kepada Allah.
Dengan rasa berat karena harus membawa pulang pisang dan nangka yang diperoleh dari SD yang baru dikunjungi tadi hingga tiba di rumah dengan selamat.
Sampe di rumah Pak Abah menceritakan pada istri tercintanya tentang jamuan makan yang disediakan oleh sekolah yang dikunjungi. Sehingga meski tidak sarapan tidak terasa lapar. Padahal Pak Abah hanya memakan pisang goreng dari Doko. Namun dengan cerita seperti itu kepada istrinya, membuat lega dan hilang kekhawatiran istrinya karena belum sarapan.

Catatan Nama orang yang disebut dalam tulisan dan lokasi dalam cerita ini hanya fiktif belaka dan tidak sebenarnya.
Dimuat di Buletin Mitra Pendidikan Kabupaten Blitar