Senin, 13 Juli 2009

Menolong Orang Lain Adalah Rejeki Allah


Pernahkah Anda merasa dipanggil untuk pulang kepada Allah, pernahkah Anda berdoa sambil menangis dan seakan Anda berdialog betul kepada Allah.. ? Padahal kita hanya orang biasa, yang biasa berbuat dosa, biasa meninggalkan perintahnya bahkan melanggar larangannya. Kita juga bukan orang-orang sufi yang seanntiasa mengutamakan kepentingan ukhrowi. Ya...., biasa saja seperti Anda, barangkali.

Namun ada beberapa mutiara di hadapan kita yang sebenarnya kita diminta melihatnya namun mata kita tertutup. Ada beberapa emas yang ada sekitar kita namun kita tak mampu meraihnya. Kebanyak kita hanya menemukan yang tampak jelas dan benar-benar jelas menurut kita. Padahal yang tidak tampak jela sebenarnya tersimpan rahasia Allah yang sebenarnya.

Pernahkah anda senantiasa menyingkirkan barang yang tampak di mata kita barang yang mungkin bisa membahayakan orang lain kemudian kita singkirkan. Atau kita sengaja berjalan dan melihat di sepanjang jalan, barangkali ada barang yang mungkin bisa membahayakan orang kemudian kita pungut dan kita singkirkan. Atau sebaliknya, malah kita memasang perangkap kepada orang lain hanya untuk sekedar mencari gelak tawa. Atau mungkin menyempitkan jalan umum sehingga orang yang lewat merasa kesulitan. Bahkan membuat jendulan polisi tidur di depan rumah, sehingga bisa membahayakan orang yang melewatinya., bahkan memisuhimu. Atau mungkin menggelar pesta nikah dengan menutup jalan raya yang seharusnya miliknya pengguna jalan. Orang yang melihat orang lain berhenti dan menyingkirkan kulit pisang di jalan dikala naik kendaraan mungkin akan tertawa. Apalagi menyingkirkan paku di jalan, yang asti akan membahayakan.

Pengalaman Mati Pertama:

Ketika saya di Kupang, saya biasa memancing di laut dengan sebuah sampan kecil dengan dayung yang hanya muat dua orang pada malam hari. Biasa yang mengajak saya bernama Muhammad Ali Sy Lambeta, dia asli dari Pulau Solor NTT, teman guru di SMA Negeri 2 Kupang. Dialah yang mengajari saya teknik mancing BEREAK, yaitu memancing dengan sampan yang dijangkar dengan kedalam maksimal 10 meter di atas terumbu karang. Kail dengan senar hanya dilempar begitu saja, sambil menuggu menghisap rokok. Sehingga membuat keasyikan tersendiri, karena ikan senantiasa menyambar umpan yang melayang-layang di tengah air.

Pada suatu malam memancing, di tengah agak jauh kami berdua kedatangan angin yang tak begitu kencang. Namun angin itu mampu meniup topi yag dikenakan teman saya tadi, sehingga terlepas dari kepalanya. Sedangkan dalam topi terdapat bungkusan plastik berisi rokok dan korek. Memang rokok menjadi sajian nikmat saat seperti ini. Sehingga begitu topi tertup angin, secara reflek tanganya menyahut bungkusan plastik itu, sehingga membuat perahu sampan itu oleng dan terbalik di tengah laut. Kebetulan kami berdua juga bisa berenang gaya anak kampung. Semua barang habis ditelan ombak. Pancing, ikan, sandal, pisau dan apa saja yang atas perahu hilang. Hanya dayung yang saya pegang. Angin meniup semakin kencang, padahal tali jangkar masih ada di dasar dan perahu terbalik.

Apa yang saya nyanyikan pada saat itu. Malam akan berganti fajar dan fajar akan menerangi dunia, dan akan datang orang yang akan menolongku. Namun berbeda dengan teman saya yang satu itu. Dia menangis, dan tidak mampu berfikir bagaimana mengatasinya. Dia juga tidak berfikir tentang keselamatan saya yang ganteng ini, seorang guru yang dikirim dari Solo dan dibutuhkan oleh Negara untuk mencerdaskan anak-anak NTT yang masih berbau apek itu.

Masih saja dia menangis, dan menangis kepada Allah. Dengan logika saya berfikir, di bawah saya tidak ada ikan hiu, karena ikan hiu sudah habis diburu orang Buton, makanya sudah punah dari laut sekitar ini. Kemudian saya berenang merambat di perahu yang tengkurap tadi.

“Kawan, kita tenggelam ko..?” kataku sambil tertwa dalam hati.

“Oiya, bagaimana kita bisa balik ini perahu agar kita bisa pulang..!” jawabnya.

Akhirnya perau itu berhasil kita balik, namun muatan air penuh sehingga tak mungkin dinaiki. Ketka ditimba dengan telapak tangan gagal terus, karena posisi perahu terjangkar, akan diterpa gelombang dan angin. Digoyang ke samping kiri-kanan tak mengurangi air di dalam perahu. Akhirnya saya ke ujung depan teman saya tadi di belakang, dorong maju mundur akhirnya mengurangi air hingga separohnya. Saya duluan berguling naik ke atas perahu, meski diikuti juga dengan isi ulang air laut. Namun akhirnya berhasil juga naik dua oarng di atas perahu dengan dayung tetap di tangan. Pelan-pelan menimba air dengan telapak tangan. Hingga akhirnya bisa didayung menuju pantai dalam kondisi kedinginan.Pulang jam 4 pagi dalam kondisi basah tanpa hasil apa-apa. Ini adalah mati saya yang pertama.

Pengalaman Mati Kedua:

Kegiatan yang sama namun kondisi sendirian dan tenggelam di tengah laut, bukan karena angin tapi ditabrak kapal Cakalang. Ini terjadi pada bulan puasa, biasanya saya seabis tarawih menghabiskan waktu memancing dengan sampan yang saya beli dari orang Buton seharga 200 ribu. Di kiri kanan saya pasang jligen minyak bimoli 5 literan dengan lengan sebatang tongkat pramuka. Dengan cara itu saya tinggal mendayung pelan-pelan sulit untuk oleng.

Saya berangkat sekitar jam 9 malam dan biasa para pemancing juga sudah berada di tempat yang sama. Air begitu halus tak tedengar suara ombak dan hanya suara gemricik air yang saya dayung. Bulan juga menyinari air laut sehingga tampak biru terang mengkilap. Biasanya saya membawa obor untuk peringatan perahu besar yang lewat, agar tidak ditabrak. Saat naas itulah akhirnya saya benar-benar ditabrak, namun ketika saya berteriak sekeras mungkin, perahu besar itu dibelokkan mendadak dan perahu saya diterpa lambung kapal dan gelombang memenuhi perahu saya. Tongkat pramuka sebagai lengan perahu patah namun masih terikat oleh tali. Tampaknya ujung perahu saya pecah dan tak mampu saya bawa dayung, karena air memenuh perahu. Makian pun menimpa saya dari seluruh anak buah kapal.

“Puuukkkkimaiii…, Lu….Bodog Lu, pake lampu….!” Begitu makian yang saya terima. Namun karena perahu saya penuh air namun tidak terbalik, akhirnya makian itu tak terdengar di telinga. He.. he… ya terdengar, tapi tak masuk di hati….

Namun saya tetap menyanyikan lagu yang sama, fajar akan menggantikan bulan dan aka nada yang menolongku. Dengan jeligen dua di samping, akhirnya masih diselamatkan oleh Allah. Meski harus berenang menuju pinggir pantai dengan dua jeligen penyelamat itu.

Ini saya anggap mati yang kedua.

Pengalaman Mati Ketiga:

Tahun 1996, tepatnya pada bulan Desember saya disambati adik ipar saya yang sebagai pelayar. Route kapal barang yang dilayari biasanya Jakarta-Merauke, dengan perjalanan 2 minggu. Seingat saya nama kapalnya Si Bela. Karena waktu perjalanan balik sering singgah di Kupang untuk mengangkut sapi atau kerbau dibawa ke Jakarta.

Ketika kapalnya dok di Pelabuhan Labuhan Bajo, Kecamatan Komodo Manggarai, selama 3 bulan akhirnya dia mengabarkan jatuh cinta pada anak seorang Dhalu (Demang, orang Jawa dulu). Saya dikabari oleh adiknya yang di Solo, bahwa dia akan menikah. Tidak ada yang bisa menghadiri. Mertua saya meminta saya mewakili keluarga. Mendengar tangisan mertua dan keluarga di Solo itu, akhirnya saya bagkit jiwa petualang saya. Menyeberang dari Timor ke Flores, terus perjalanan sepeda motor dari Ende-Labuhan Bajo, selama 10 jam, tak berani berhenti, kecuali saat ada warung makan dan makan. Sepanjang jalan hanya ada hutan belukar dan kadang anjing liar di hutan mengejar dari belakang. Kabut bulan Desember di atas Ngada luar biasa tebalnya, sehingga kadang lampu motor hanya menerangi sekitar 3 meter di depannya. Belum kalau ada orang tidak gila namun berlaku gila, karena melempar setiap motor yang lewat. Apalagi pas bulan itu hujan sepanjang jalan. Berangkat dari Ende jam 9 pagi tiba di tempat jam 9 malam.

Alhamdulillah, tiba juga karena jalan di sana hanya satu batang saja, tak mungkin kesasar. Begitu tiba, orang desa itu pun heran-heran. “Orang Jawa nekad…!”

Menginap semalam, akhirnya pukul 12 siang pulang ke Kupang lagi. Namun perjalanan pulang inilah yang membuat saya harus mati menghadap Allah untuk yag ketiga kalinya. Bayangkan, ketika sudah meninggalkan Manggarai, masuk hutan dan naik gunung, tak ada suara lain kecuali raungan motor saya. Tiba-tiba ban belakang meletus. Kepada siapa saya harus minta pertolongan, wong waktu itu sudah pukul itu 3 sore. Sehingga tak ada kendaraan lagi yang lewat, kecuali si nekat, yaitu saya sendiri.

Mau berhenti, tentu banyak binatang liar di sekitar ini. Mau apa lagi kalau bukan mendorong motor sambil menangis kepada Allah, “Ya, Allah engkau mau menolongku, aat inilah saat yang tepat, datanglah saat aku keepet semacam ini…!!!” teriakku keras-keras, wong gak enek wong liyane…. Doa saya, tangis saya terdengar di hutan di atas gunung, seperti Tarzan yang mengaung… auooooo…..

Sekitar setengah jam saya harus mendorong naik motor saya, sekali-kali melihat ke belakang, barangkali ada mobil atau apa saja yang lewat.

Tak lama saya melihat ada truk di depan. E… ternyata bannya meletus. Muatan beras yang diangkut cukup banyak. “Alhamdulillah……”, gumam saya dalam hati. Saya lebih semangat mndorong motorku, hingga akhirnya dekat dengan orang berkulit agak hitam itu melepas ban yang meletus itu. Karena saya sudah di Kupang sejak tahun 1990, sehingga selama itu saya sudah bisa pake logat Kupang, meski mereka tahu, baha saya orang Jawa.

“Mbu., bisa tolong beta kasih naek saya pung motor, ko…?” Tanya saya agak tersengal–sengal.

“Ah, nggak bisa ini muatan terlalu berat, Mas”, tolak dia. Jajanan manten adik saya yang dibungkus di atas motor saya buka, dan mereka saya minta memakan bersama. Akhirnya sudah mulai dialog akrab. Namun mereka tetap menolak permintaan saya. Karena memang sarat muatan.

Tapi Allah menunjukkan jalan berbeda, dongkrak yang dipakai tak bisa mengangkat ban yang kempes itu. Dengan gaya sok pinter saya sarankan, “Mbu, itu oli abis itu dongkrak…!” saran saya untu diisi dulu. Tapi mereka memang galeg teknologi, akhirnya saya bantu mbngkar dogkraknya dan mengisi oli dari oli mesin motor saya. Pertolongan datang dari saya, akhirnya motor saya ikut dinaikkan/ diikat di belakang truk hingga di kota Ngada pukul 6 sore. Setelah ditambal dan saya tunggu sekitar 15 menit untuk memastikan hasl tambalanya, sambil isap rokok karena memang dingin luar biasa dan melanjutkan perjalanan ke Ende. Sekitar pukul 11 malam tiba di Ende. Besoknya menyeberang ke Kupang.

Kenapa ini saya anggap mati yang ketiga. Karena saat itu terjadi perang dingin yang cukup kental, akibat kejadian di Maumere. Sara… sehingga saya tak hanya khawatir karena harus mengatasi lintasan yang begitu panjang, tapi ancaman yang mungkin terjadi, karena perjalanan sendiri.

Yang benar, tidak sendiri dan senantiasa didampingi oleh para malaikat, karena sepanjang jalan senantiasa memanjatkan seruan nama-nama asmaul husna. Lha, rak yo bener mergo bungkem sepanjang jalan ra ono koncone, sak mono suwene.

Dari pengalaman hidup nyata ini yang senantiasa mendapat pertolongan, ita tidak tahu dengan media apa itu, saya mengajak Anda untuk senantiasa ringan tagan dalam memberikan pertlongan kepada orang lain, apalagi dia sangat membutuhkan. Makanya kejadian malam Senin di Pom Bensin Jalan Kalimantan Blitar itu salah satu bentuk amalan saya yang saya anggap sebagai rejeki saya malam itu.

MALAM JAM 12 ISI BENSIN DI POM, ADA ORANG MERINGIK KESAKITAN KARENA TERLALU DINGIN, DITUNGGU ANAK DAN ISTRI DI SAMPING DI ATAS TIKAR. TERNYATA MAU PULANG KE KANIGORO NUNGGU JEMPUTAN HABIS KELUAR DARI RUMAH SAKIT. NALURI SOSIAL TETAP MELEKAT, LANGSUNG NAIK 3 ORANG. PAGI TAK TENGOK LAGI SUDAH SEMBUH. ALHAMDULILLAH...” Wall di fb tanggal 13 Juli pagi.

Ketika sampe rumahnya, dikira saya ngompreng atau ngojek, tak rungokne dompete kricak-kricik, akhire aku nolak mampir, "Pun Bu, kula langsung kemawon, pun dalu". Tak delok wis jam 00.18, dalam hati saya berdoa, "Jangan beri imbalan kepadaku, Ya Allah, kecuali beri kesembuhan kepadanya". Ternyata Allah tidak pernah tuli, ketika saya pulang sekolah ada mobil belok mendadak, sehingga saya reflek juga rem mendadak, tak tau di belakang ada motor bapak-bapak nabrak bemper belakang saya, tapi nggak jatuh. Ya, rodo ketok bekas ban... Itu artinya saya diberi rejeki untuk diberikan kepada orang lain, karena harus ndandakne. Benar dikabulkan apa yang saya minta. Makanya saya akhirnya sengaja mampir ke rumah orang semalam. Alhamdulillah, bapak masih hapal yang mengantar di pagi dini hari.... Terkabul betul apa yang saya minta kepada Allah.
Ternyata sikap seperti ini jarang dilakukan orang lain. Pernah saya naik motor pulang sekolah, ada kejadian persis di depan saya. Sebuah sepeda motor tiba-tiba bisa meliuk-liuk dan kemdian melompat pengemudinya terlempar lompat saluran air dan ke sawah, hingga kepalanya nyungsep di lumpur sawah. Saya dlam kondisi bersepatu langsung lompat ke orang yang tak bergerak itu. Tapi karena orang tadi cukup gemuk, akhirnya saya nyegat orang-orang yang lewat dan teriak minta tolong bantu saya. Masya Allah, mereka kebanyakan malah bertanya kenapa bukan malah turun untuk menolong. Bahkan ada yang habis tanya nggak turun langsung lanjut jalan. Masya Allah, akhirnya saya nyetop mobil di tengah jalan dalam kondisi belepotan dan berlumur darah, kalau mati ya inilah saya mati yang keempat. Akhirnya sebuah truk berhenti membantu menolong, hingga dibopong bareng ke pinggir jalan.
Begitu sadar, dia bertanya, "kenapa saya tadi..?" Saya jelaskan apa yang saya lihat. Ngantuk. Tak lama kemudian orang berkerumun sudah ada yang membantu, akhirnya saya lanjut pulang karena saya kebetulan mau layat bapaknya teman lama saya.

Hanya beberapa orang yang mau melakukan, padahal sering mendapat balasan secara tidak diduga hanya karena melakukan amalan seperti ini. Makanya di Teve ada Acara Tooolooonnggg........ (Budi Elyas)

1 komentar:

Suwahadi mengatakan...

Semua yang berawal kecil memang mungkin tanpa kita sadari akan menjadi sebuah hal yang 'dipetik' dengan sebuah hasil.
Tulisannya ringan tapi bermakna banger pak budi.

Saya tunggu posting berikutnya.

Suwahadi
(http://www.suwahadi.net)