Senin, 06 Juli 2009

Merancang Masa Depan Anak Menjadi CPNS

Ketika saya masih aktif Talkshow di Radio Mayangkara Blitar, mewakili Dewan Pendidikan Kabupaten Blitar, pertanyaan yang paling ramai adalah persoalan GTT, PTT pokoknya yang berbau TT (Tidak Tetap) dan tidak jelas. Jawabanpun menjai bias tat kala kita mendengar suara pendengar tentang itu.
Pertanyaan tersebut semestinya menjadi kewenangan Biro Kepegawaian, atau di Dinas P dan K dulu adalah Subdin Ketenagaan. Kemudian kita konfirmasi ke Subdin Ketenagaan, jawaban menjadi bias. Bukan tidak jelas tapi justru membuat saya bertanya. Database tiap tahun diminta oleh Dinas, tapi tidak hanya tiap tahun perubahannya, bisa per minggu perubahannya, sehingga database bisa berubah setiap saat. Ini kesalahan kepala sekolah atau karena data dibuat ngawur dan dikirim ke dinas.
Pejabat Kepala Subdin Ketenagaan juga kalang kabut dan sering mengatakan, "Rumit..!" seperti yang saya katakan tadi. GTT sudah tidak ada, kenapa mereka mengatasnamakan GTT. Lho namanya Guru Tidak Tetap disingkat GTT.
Lebih rame lagi kalau dari pihak PGRI ikut mengakomodasi suara GTT yang konon sudah menjadi anggota PGRI dan membayar kewajiban iuran tiap bulan, katanya. Maju ke Legilatif, maju ke Ekekutif, yang intinya nuntut honor atau insentif. Padahal mereka sebagian besar tak terdaftar, baca liar. Jumlahnya bisa ribuan. He.. he... kalau semua nuntut bayar sedang di APBD nggak ada dana alokasinya, terus gimana..?
Nah, namanya guru dengan jumlah begitu banyak rame-rame ke legislatif atau ekekutif, bisa dimanfaatkan momen politik. Mereka yang baru mengajar belum genap setahun pun bisa berteriak, "Kami ini dinggap apa, saya ini guru-guru penerus genarasi bangsa, bangsa ini mau jadi apa kalau gurunya hanya dibayar 100 ribu tiap bulan..!" Saya juga ingin tertawa juga. Soalnya honor mengajar 4 jam perminggu, 1 jamnya dihergai 25 ribu, pas 100 ribu jadinya. Nggak sama dengan dosen. Kalau dosen mengajar 4 jam perminggu, satu bulan jadi 16 jam, bayarnya bisa 4 kali lipat. Ya itulah guru. Makanya ada yang nyeletuk, "Siapa suruh jadi guru..?"
Karena gerakan keras guru menuntut insentif atau honor, mau tak mau bupati ngitung lagi. Berapa jumlah guru GTT, ada dana berapa yang bisa dialokasikan. Kembali ke Ketenagaan lagi, ruwet lagi... Kalau sudah terdaftar karena memaksa minta insentif, tapi mereka berikutnya nuntut diangkat pegawai negeri. Pengalaman atas dasar kemanusiaan, guru-guru yang diangkat karena masa kerjanya sudah lama pada beberapa tahun atas status GTT kemudian GBS, kebanyakan memiliki kompetensi di bawah standar. Kalau tidak demikian, ngapain sampe lama nggak lulus-lulus ujian CPNS..?
Apa sebanarnya persoalannya. Mereka kebanyakan adalah guru-guru swasta yang magang begitu saja. Ketika lulus kuliah keguruan bahkan lulus SMA saja bisa magang menjadi guru. Pokoknya ngajar lah, berapa jam diterima, kan berbeda statusya dibanding kerja yang lain. Apa akibatya, banyak guru yang tidak standar, banyak rasio mengajar di sekolah yang tidak pas.
Bedasarkan pengalaman monitoring di sekolah-sekolah, terutama sekolah swasta, banyak sekolah yang siswanya hanya segelintir saja, sehingga ketika Ujian Nasional dititipkan di sekolah negeri. Logikanya, rasio guru siswa sudah tidak standar lagi, sedangkan guru yang dimaksud adalah guru yang memiliki kompetensi di bidang yang diajar. Sehingga jika satu kelas rata-rata banyak siswanya 4 atau jumlahnya 12, maka tidak butuh guru hanya 3 yang gantian mengajar, tapi sebanyak mata pelajaran yang ada di kurikulum. Belum lagi kasus pelecehan atau bentuk kejahatan lainnya dengan atas nama oknum guru.
Saya punya cerita anekdot dan jangan ditiru. Andaikan kita punya anak dikuliahkan di Fakultas Keguruan dengan jurusan yang ada di kurikulum terbaru, nggak usah yang mahal atau universitas yang terkenal. Beberapa orang memiliki ide yang sama. Begitu anak-anak lulus, siap mengajar kan. Bikin sekolah sendiri, nggak usah bagus-bagus, promosi besar-besaran, sehingga memperoleh siswa yang standar. Apa status anak-anak yang jadi guru tadi...? Jawabnya adalah GTT. Apakah mereka tidak punya hak seperti yang maju ke legislatf atau ekekutif, kemudian terdaftar sebagai penerima insentif, kemudian menjadi GTT, kemudian menunutut untuk diangkat menjadi PNS. Dalam waktu yang sengaja dibuat asal-asalan, tak lama bangunan roboh, bocor, karena memang diharapkan dapat bantuan Block Grant atau lainnya.
Jadilah masa depan anak-anak menjadi guru yang kita skenario sendiri. (Budi Spoil)
Dimuat juga di http://politikana.com/baca/2009/07/07/merancang-masa-depan-anak-menjadi-pns.html

Tidak ada komentar: