Rabu, 15 Juli 2009

Pesta Kepala Ikan

Cerpen : Budi Elyas
Hari Minggu tampaknya tak ada agenda yang pasti. Biasa istri dan anak-anak bangun agak molor. Saya masih ingat kepala ikan kakap hasil pancinganku tempo hari masih tersimpan di dalam kulkas. Belum sempat untuk memasaknya. Padahal teman-teman mancingku sudah menagih, kapan dimasak, kapan makan bersama dengan kepala ikan yang sebesar kepala kambing itu.
Kami buka freezer dalam kulkas yang bersisi tongkol dalam kotak yang biasa dipakai umpan mancing dan kepala ikan yang sudah terbungkus es. Saya tarik agak kasar karena sudah menyatu dengan dinding freezer. Tampaknya masih bagus kondisinya. Mau dibakar atau digoreng. Kalau dibakar perlu api yang besar, kalau digoreng juga perlu dipotong-potong lebih dulu, tapi jadinya nggak nikmat, kata teman saya. Yang gampang direbus saja terus dikuah santan terus agak pedas dan dikasih asam yang banyak. Biarkan utuh saja, pake panci yang besar biar muat utuh kepala itu.
"Tumben Babe masak pagi-pagi", tanya anak saya yang sudah ngutek hapenya dalam kamar.
"Nanti ada teman datang, dari Malang", jawabku tanpa melihat dia sudah masuk dalam kamar mandi.
"Teman dari FB ya, Pak..!"
"Ya, .... tapi ....", saya berhenti bicara karena suara kran air mengalir tak mampu mengalahkan pendengaran anak saya dalam kamar mandi.
Ikan, eh kepala ikan sudah hampir hilang bungkus esnya, saya rendam air dulu agar nanti masaknya lebih cepat. Untuk menunggu dingin esnya, saya mencari bumbu-bumbu dalam lemari yang biasa dipake nyimpan. Soalnya istri saya jarang memasak, soalnya memang lebih praktis beli jadi di Mok Bari di jalan Kalimantan. Pasti lezat, meski agak mahal. Lombok masih ada, bawang putih cukup, oohhh... asam harus beli dulu ke kios seberang jalan. Harus keluar rumah, cuci muka dulu yaaa...
"Be.. aqua habis...!" suara tiba-tiba muncul. Eh, Kiky anak pertama saya yang nunggu hari berangkat kuliah, katanya 24 Agustus baru masuk. Katanya pula harus ikut membina Paskibra, 17-an di kota Blitar karena dia sebagai seniornya. Paling ya pingin reuni aja dengan seniornya.
"Ya, nanti beli di Mbak Wid depan situ aja dekat", kataku.
"Lho, punya isi ulang sendiri kok beli to, Pak ?"
"Iya isi ulang yang di alun-alun itu sudah tak pindah ke jalan Pandan, soalnya yang punya tempat rodo kenyih..!"
"Di rumah Mbah ?"
"Ya, biar aja di sana meski hasilnya kecil, lama-lama ya banyak juga langganannya".
Luis anak kedua sudah keluar, gantian kakaknya masuk. Dua anak perempuan memang biasa lomba lama-lamaan di dalam kamar mandi. Makanya kulitnya sampe puuutihh. Nggak nurun dari bapaknya, coklat dikit item banyak.
"Mas Dian yang nanti datang dari Malang. Mas Dian juga gabung juga dalam FB di Kamikaze Fishing, saya ikut-ikutan gabung tapi gak mampu gabung mancing bareng. Soalnya biaya mahal. Katanya, Mas Dian ada rencana mancing bareng di Jember", kata saya, ketika istri saya sudah keluar dari kamar. Tapi diam saja, melihat saya agak aneh, tumben masak pagi-pagi, padahal biasanya molor lebih lama. Eh, tidak ding, malah nggak bobok di rumah, wong biasa malam Minggu mancing semalam, pagi baru pulang.
Anak ragil saya, Via menyusul dan masih malas, tapi langsung pencet teve, nonton spongebop. Bobokan lagi di depan teve. Biasanya, kalau pas malam ada acara mancing, si ragil Via yang harus minta dicium. Soalnya boboknya susah kalau nggak dipeluk bapaknya. Maknya kalau dengan motor datang, dia langsung nongol. Kadang bercanda, "Nah, ikannya besar pake kacamata, ganteng....Ma".
Setelah selesai membuat santan dan memeras asam yang telah direndam air dalam panci, tinggal kita tunggu sampe masak. Kepala ikan yang sudah direbus ditus di atas erok-erok. Emmm, baunya sudah terasa. Namun anak-anak saya tak biasa makan ikan hasil masakan saya, katanya gilo. Tapi, nyuri-nyuri nithili kalau pas nggak ada saya. Ini pengaruh adanya istilah, masakan ibu tetap melekat di hati dan tidak ada istilah masakan bapak. Biasanya seorang laki-laki tidak banyak yang menyukai masakan istrinya, tapi lebih menyukai masakan ibu kandungnya meski hanya sambal terasi, sayur bening, makannya lebih lahap dan rasanya lebih nikmat. Itu namanya masakan ibu, nggak ada masakan bapak.
"Be, BBnya bunyi....!" Biasa anak-anak mengolok-olok tentang Black Berry lawas, minta saya ganti hp yang bagus biar keren, mosok tetap Nokia tahun 2001 masih setia, katanya. Saya juga ngasih contoh, hp yang penting bisa untuk telepon dan sms. Mau yang ada foto, sudah punya kamera digital, mau yang musiknya ada, ada juga tape, video... Gara-gara itu juga saya kadang dimarah teman. Ditelepon nggak diangkat.... dan sebagainya. Saya alasan pas ngajar, di kelas nggak boleh bawa hp. Padahal sebenarnya pas antri nabung di BCA, karena yang antri juga keren-keren hpnya, hp saya getarkan aja dan tak berani angkat, nggak pede.
"Oh, mas Dian. Jadi kan Mas ?" Pasti katanya, dia teman ketemu di FB kemudian janjian mancing di Serang. Ketemu juga, tapi sayangnya saya nggak dapat ikan, padahal sudah disiapkan kamera segala. Rencana mau mancing di Jember, tepatnya di Pulau Barong. Konon di pulau itu merupakan tempat pembuangan ular Cobra pada masa Jepang dulu. Katanya bisa sebanyak 1 kontainer. Saya mendengar itu agak ngeri juga, mau cari senang meski kadang maut tapi bukan cari mati dicium cobra.
Waktu mancing dia cerita banyak tentang kakaknya di Blitar. Kerja..? bukan dia di LP, karena kasusnya tertangkap di situ. Makanya nanti saya diminta nemani Mas Dian ke situ.
"Saya sebenarnya ingin memanjakan Mas", kata Mas Dian waktu cerita kakaknya, "Sudah sebulan 2 hari ini dia ditahan di situ". Saya juga nggak tanya apa kasusnya, perampokan kah, narkoba kah, pembunuhan kah. Saya takut tersinggung. Semalam mancing hingga tidur berdekatan, sama-sama memegang stik pancing juga nggak cerita banyak tentang kakaknya itu. Ada desah hatinya sehingga tak bisa terucap.
"Baunya.. sedep.. bikin lapar nih", kata Luis yang sudah habis berdandan dari kamar. Rasanya ikan sudah mulai masak, santannya sudah berbuih, usahakan jangan pecah, nanti beda rasanya. Tapi wong ikannya cukup besar, tetap harus lama dan pasti pecah. Memangnya masak sayur, ini daging....coi...
Suara derum mobil dari depan rumah, pasti Mas Dian. Eh... bukan, truk orang kirim pasir di rumah sebelah. Memang lokasi dekat sawah, tanah kapling, ada rumah baru di gang saya yang sempit. Akhirnya halaman rumah jadi tempat muter. Biar sajalah, amal. Bukan amal thok, belum punya duit buat bikin pagar depan. Terus ngapain dikasih pagar, malah kendaraan sendiri susah masuknya. Biarkan aja terbuka luas begitu...
"Mau makan, Mbak...?" tanyaku pada Luis. Tapi dia masih lihat-lihat aja, terus balik arah dan kecewa, soalnya kepala ikannya dimasak utuh. Kayak monster, takut atau gilo. Konon di Semarang ada menu khusus, yaitu kepala ikan disantan pedas, menjadi faforit Padahal ikannya kecil-kecil, Kalau yang ini mantap...!
Hehehe.... sik jumatan Rek ...!

1 komentar:

fitria anisa mengatakan...

heheheh..senyum aja buat bpk.lgi2 sipppp pak!!!