Minggu, 01 Februari 2009

OTONOMI SEKOLAH


OTONOMI SEKOLAH
Bukan Sak Karepe Dhewe

ERA otonomi daerah dan otonomi pendidikan yang sekarang sedang gencar dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah telah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurusi segala sesuatu tentang pendidikan di daerahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Hal itu telah tertera dalam Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999. Kewenangan penuh tersebut dirumuskan dalam pasal 7 ayat 1; ''Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali dalam kewenangan politik luar negeri, pertahanan keamanan, keadilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain.''
Pada era otonomi tersebut kualitas pendidikan akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah daerah. Ketika pemerintah daerah memiliki political will yang baik dan kuat terhadap dunia pendidikan, ada peluang yang cukup luas bahwa pendidikan di daerah bersangkutan akan maju. Sebaliknya, kepala daerah yang tidak memiliki visi yang baik di bidang pendidikan dapat dipastikan daerah itu akan mengalami stagnasi dan kemandegan menuju pemberdayaan masyarakat yang well educated, tidak akan pernah mendapat momentum yang baik untuk berkembang.
Dalam otonomi sekolah nanti peran masyarakat yang sebelumnya termarjinalkan, akan memperoleh kepercayaan dalam mengatur untuk bisa berperan dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan. Tidak hanya sekedar sebagai penyumbang atau dana penambah bagi sekolah tetapi terlembagakan dalam Komite Sekolah. Dengan kata lain ketidakseimbangan dan ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota Komite (yang terdiri dari masyarakat yang merupakan kumpulan para wali/ orang tua siswa) dalam manejemen sekolah harus ditiadakan. Karena sebelumnya (BP3) telah dijadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi masyarakat menjadi lembaga yang tidak ada fungsinya (disfunction). Maka ketika otonomisasi digalakkan sudah saatnya masyarakat (orang tua) diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam berbagai hal. Tapi, tidak hanya sekedar sebagai formalitas belaka, yang artinya, orang tua ketika diikutsertakan dalam musyawarah dengan pihak sekolah tidak hanya sebagai objek atau hanya sebagai pendengar saja, melainkan harus benar-benar dilibatkan secara langsung.
Di SMA Negeri 1 Kesamben sejak diberlakukannya Undang-undang otonomi daerah sudah melakukan pola-pola otonomisasi. Pembentukan Komite Sekolah yang melibatkan tokoh masyarakat, kepala desa, tokoh pendidikan, LSM dan sebagainya sudah terbentuk. Mereka yang telah ditunjuk dan diangkat oleh kepala sekolah diharapkan berpartisipasi aktif dan melakukan perubahan/ perbaikan kea arah yang lebih baik dan maju. Namun dirasakan peran komite sekolah tetap tidak jauh berbeda dengan BP3 yang hanya berperan sebagai penyumbang dana untuk membantu kelancaran penyelenggaraan pendidikan di sekolah.
Forum Komunikasi (FK) adalah salah satu bentuk kegiatan strategis dalam menampung dasar-dasar penyampaian aspirasi yang selanjutnya dijadikan bahan pertimbangan oleh Komite Sekolah. Rapat awal tahun ajaran juga menjadi bahan masukan penting dalam melakukan penyusunan program tahunan. Ini merupakan awal kegiatan dalam melakukan perubahan pola piker dari BP3 menjadi komite. Janganlah asal ikut-ikutan membentuk komite, namun diakui setengah hati dalam pelaksanaan pengembangan sekolah. Atau sebaliknya anggota komite tak mau susah payah, bajunya saja tampak komite, dalamnya tetap BP3.
Pada Ujian Akhir kelas III kemarin sebagian sudah menggunakan pola-pola Otonomi sekolah. Dimana sekolah melakukan pengaturan dalam pelaksanaan Ujian Sekolah secara mandiri. Misalnya SMA Pemuda dan SMA Islam Hasanuddin yang termasuk dalam satu kelompok penyelenggara ujian atau Sub rayon, juga melakukan pengaturan sendiri baik dalam penyediaan soal ujian, pengoreksian dan penilaian. Berbeda dengan tahun sebelumnya yang masih menggabung SMA Negeri 1 Kesamben dalam pelaksanaan ujian sekolah. Sedangkan SMAN 1 Kesamben juga tergabung dalam MGMP SMA Kabupaten Blitar.
Evaluasi pelaksanaan Ujian Lokal yang sekarang diistilahkan Ujian Sekolah, yang notabenenya dikelola secara otonomi sekolah, mendapat penilaian lebih buruk disbanding sebelumnya. Ujian sekolah atau apa saja yang menjadi hajat sekolah itu urusan Negara bukan urusan perorangan. Oleh karena itu keseriusan dalam melakukan harus tetap dijaga. Kenapa demikian ? Karena dalam koreksi yang dilakukan secara otonomi itu tidak menggunakan kode. Apakah ini dikatakan lebih baik dan serius dalam penanganan masalah Negara di era otonomi ? Masih banyak lagi persoalan yang menurut orang tertentu tidak penting, namun kalau ada masalah pasti menjadi masalah besar dan menyangkut nama baik sekolah.
Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan nanti memiliki nilai strategis bagi sekolah untuk berkompetisi dalam upaya membangun dan memajukan sekolah. Terutama yang berkaitan langsung dengan sumber daya manusia (guru, pegawai, siswa) dan Komite Sekolah. Meski demikian tetap akan dilakukan jaringan kerjasama antar sekolah. Misalnya MKKS (Musyawarah Kerja Kepala Sekolah), MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) dan sebagainya.
Oleh karena itu strategi yang harus dilakukan sekolah adalah bagaimana menampung aspirasi semua komponen, bagaimana baiknya, itu diperlukan koordinasi, jangan dikerjakan sendiri, dan seakan yang lain tidak tahu apa-apa, walaupun semua beres dalam pekerjaan. Kebersamaan dalam bersaing dengan sekolah lain menuju prestasi sekolah yang lebih maju harus tetap ditingkatkan dengan mengembangkan potensi guru dan siswa secara optimal, bukan persaingan di dalam kandang SMA Negeri 1 Kesamben. (Budi Elyas)

1 komentar:

Budi Spoil 85 mengatakan...

Tulisan ini diterbitkan di Editorial Fraksi Mutu SMAN 1 Kesamben, sebagai kritik akibat orang yang menerima amanah di sekolah tapi melaksanakan dengan sak karepe dhewe dan tidak melibatkan orang lain dalam menentukan keputusan.